Rabu, 31 Juli 2013

Minggu pagi

”Hai! Selamat pagi!”

Seperti biasanya, kau menyambut pagi di hari Minggu dengan senyum lebarmu. Berjalan menuju balkon atas tempatku biasa memulai pagi dengan berita-berita tentang ibu kota. Secangkir teh manis hangat di tangan kirimu dan roti bakar keju-susu di tanganmu yang satunya. Kau tahu betul sarapan pagi kesukaanku di hari Minggu. Lalu akan kau letakan keduanya di atas meja kayu di sebelah kiri tempat aku duduk. Setelah itu kau akan berjalan menuju sebuah kursi panjang yang bersandar pada pagar balkon. Berlatar belakang pepohonan hijau dan bukit kecil yang samar terlihat tertutup sedikit kabut. Kemudian kau duduk di atas kursi panjang itu, tepat di seberangku, melihat ke arahku, menunggu aku sadar lalu menurunkan koran pagi yang sedang ku baca dari depan wajahku. Aku hafal betul kebiasaanmu itu.

Pada pagi di hari Minggu biasanya, aku tidak akan menurunkan koran yang tengah ku baca dari depan wajahku hingga aku merasa kau sudah menekuk wajahmu kesal.

“Sepertinya ibu kota sedang mengalami hal serius ya? Setiap Minggu ya? Hingga kau terlalu fokus dengan berita itu dan tak peduli dengan sekitarmu 'yang lebih dekat'.“ Sindirmu.

Dari balik koran, aku menduga-duga tingkat kekesalanmu hari ini melalui nada bicaramu. Membayangkan rupa wajahmu yang minta diperhatikan. Dasar imaji! Aku tak sanggup lagi menerka wajah jelekmu itu hingga pundakku mulai bergetar diikuti suara tawa yang semakin lama semakin membesar.

“Ya, setiap Minggu. Aku harap selalu ada berita tentang keadaan ibu kota di koran Minggu pagi yang membuatku fokus.“ Balasku.

Aku mulai menutup koran Minggu pagi dan menaruhnya di samping cangkir teh di meja sebelah kiriku dan tangan kananku menggantinya dengan menggenggam secangkir teh manis hangat yang mulai ku seruput perlahan sebelum kembali membuka obrolan denganmu. “Sindiranmu selalu sama setiap pagi. Apa kau tak bosan?“

“Hah, kau ini! Sindiran itu akan tetap sama sampai kau membuat aku tidak menyindirmu lagi.“

“Sayangnya aku akan tetap membuatmu menyindir seperti itu di hari Minggu pagi.“ Kataku sambil tersenyum menatap matamu dan biasanya dalam hitungan sepuluh detik saja kau sudah memalingkan wajahmu seolah-olah sedang memandang pohon-pohon hijau di luar sana, padahal kau tersipu malu karna terlihat ujung bibir dan tulang pipimu sedikit lebih tinggi dari yang kuperhatikan sebelumnya. Kau mencoba menahan senyum yang jelas-jelas telah gagal.  Aku kembali menyeruput teh manis yang kini sudah tak begitu hangat.

Sangat mudah mengetahuimu dari matamu. Seberdusta apapun kau, matamu akan membocorkan segalanya. Aku mengagumimu karna matamu. Matamu hidup. Dan ketika kau sedang marah atau kesal, aku cukup meredamnya dengan menatap sepasang mata yang sedang berkoar-koar itu. Seketika api dalam sepasang mata itupun mereda.

Lalu  kau akan memaling wajahmu ke arahku dan menghujamku dengan berbagai cerita yang telah kau kumpulkan selama sepekan, lengkap dengan gerak gerik tubuhmu yang menghiasi cerita-ceritamu, menjerat perhatianku. Lalu kita tertawa bersama-sama, saling menimpali cerita satu sama lain. Tak terasa satu hari terlewati begitu saja dan kita selalu menunggu hari Minggu berikutnya untuk segera cepat datang.

Dan hari Minggu yang ditunggu datang. Hari ini suaramu tergiang sama seperti di hari-hari Minggu sebelumnya dan aku tak juga menurunkan koran Minggu pagi dari depan wajahku. Kau menyindirku dengan sindiran yang sama setiap Minggu pagi. Aku tak juga menurunkan koran dari depan wajahku. Tak lagi menduga-duga seperti apa wajah kesalmu, tetapi sedang menerka-nerka di mana kau berada sekarang setelah pertengkaran besar semalam. Kau pergi membawa sepasang mata kehidupanku. Kembalilah. Aku ingin kau kembali.



Aku masih menatap koran Minggu pagi, mencari-cari dengan teliti, berharap ada berita kau telah kembali duduk di hadapanku, menatapku, menunggu ku menurunkan koran dari hadapanku.


-an-


#FF2in1        nulisbuku.com/@nulisbuku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar