Senin, 31 Maret 2014

detak



           
                                                                                         
                                                                                         Tok
                                                                 Tik Tik
                                                                 Tok  Tok
                                                                                     Tik    Tik
                Tok                                                         Tok     Tok     Tok
                  Tik Tik                                                       Tik      Tik     Tik Tik
                 Tok  Tok                                                     Tok        Tok Tok  Tok
                Tik    Tik                                                     Tik             Tik      Tik
               Tok    Tok                                                    Tok                        Tok   
Tik         Tik     Tik                                                    Tik                          Tik     TikTokTik
   Tok    Tok      Tok                                    Tok        Tok                          Tok  Tok          Tok
     Tik Tik         Tik                                 Tik  Tik     Tik                            Tik Tik              Tik
       Tok             Tok                               Tok  Tok  Tok                               Tok                    Tok           Tok
                          Tik        TikTokTikTokTik      Tik Tik                                                             Tik          Tik
                          Tok      Tok                            Tok                                                                 Tok     Tok
                          Tik      Tik                                                                                                          Tik Tik
                          Tok    Tok                                                                                                            Tok    
                          Tik    Tik
                          Tok  Tok
                           TikTik
                             Tok




"Jika waktu berhenti, maka aku mati."



-ann-

Selasa, 25 Maret 2014

rantau

Rantau bukanlah kata yang asing lagi bagi orang seperti aku. Seorang pemuda berusia setengah abad yang hidupnya berpindah-pindah tempat singgah. Banyak alasan – yang kukatakan ‘mengharuskan‘ – aku untuk merantau ke kota orang. Mulai dari pendidikan hingga pekerjaan untuk memenuhi pundi-pundi kering yang merengek minta diisi bagai anak bayi minta disusui ibunya.
Orang berharap merantau akan membuatmu pulang dengan lembaran kertas warna-warni bernominal yang siap ditukarkan dengan kendaraan mewah beroda empat atau gubuk bertingkat berdinding bata. Kemudian berakhir hanya sebagai pajangan di kampung halaman karena harus di tinggal merantau kembali. Jadilah ajang pertanda ‘kesuksesan merantau‘. Tapi lebih penting dari itu semua, aku merantau karena ingin kaya akan pengalaman hidup. Hidup Cuma sekali saja toh? Jadi untuk apa terus meringkuk, memenjarakan diri di atas tanah kota kelahiran dengan rutinitas yang sudah dihafal luar kepala? Dunia ini luas, kawan! Janganlah kau persempit segalanya. Kelak, entah kapan, kita akan kembali berjalan pulang ke dalam pelukan ibu di tanah kota kelahiran kita. Sekarang kita terbanglah layaknya burung besi di atas sana!


***

Maret 1995
GOMPYANG!
PRANG!
BRAK!
Pertengkaran kala itu sungguh hebat. Sebagai anak yang beranjak remaja, egoku sedang berada dipuncaknya. Tidak mau terkalahkan oleh apapun dan siapapun, sekalipun itu bapakku sendiri.
Bapak adalah sosok yang pendiam. Mungkin ia penganut setia pribahasa ‘diam itu emas’ atau mungkin ribuan buku yang dibacanya selalu terselip kalimat ‘diamlah, Pak. Diam itu emas’. Lalu segala kata-kata yang bapak miliki tersedot dan terkunci rapat di dalam buku-buku itu. Ah,  mungkin imajinasiku terlalu berlebih.
Bapak jarang sekali berbicara, tetapi sekalinya ia berbicara seluruh semesta seakan mendukung isi pembicaraannya. Tak ada seorangpun anggota keluarga yang berani menentang bapak. Tidak kedua kakak perempuan dan laki-lakiku dan tidak pula ibu dan adik perempuanku. Terkecuali anak ketiga bapak yang berani, yaitu aku.
Aku tumbuh sebagai seorang pemuda pemberontak, begitulah kata ibu untuk menyadarkanku. Aku tidak peduli selama aku memberontak akan hal yang aku anggap benar untuk kehidupanku. Terlalu mementingkan diri sendiri? Ya, memang dan lagi-lagi aku tidak peduli. Sering aku menentang omongan bapak, menentang semesta yang mendukungnya, dan memancing bapak agar keluar dari bungkam emasnya.
Selama lima belas tahun hidup bersama bapak, jelas membuat bapak hafal kelakuanku yang satu itu dan bapak paham satu-satunya cara untuk melawanku adalah tetap bungkam dalam emasnya dan berbicara jika ia berkehendak dirinya harus bicara. Seumur hidup saya, saya selalu kalah hingga Maret 1995. Kami bertengkar karena kepala batu kami yang sama kerasnya.

“Saya tidak mau sekolah,  Pak!“

PRANG!

Bapak membanting piring yang sedang dipegangnya tepat di depan mataku.



Maret 1995
Rantau bukanlah kata asing bagi saya. Tidak mudah merantau ke kota orang, terutama bagi anak berusia lima belas tahun dan anak ini bersikeras untuk pergi merantau. Jika tidak diberi izin, dia menawarkan dua pilihan:

“Di sini tapi tidak sekolah atau pergi merantau tapi tetap sekolah?!“

PRANG!

Saya membanting piring yang saya pegang dengan penuh amarah. Seumur hidup, saya tidak pernah ditentang sebegitu kerasnya oleh anak ini. Sekarang dia mengancam dengan alasan pendidikan untuk menutupi kemalasannya! Dia tahu seberapa pentingnya pendidikan bagi saya dan baginya pendidikan bukanlah hal yang begitu penting.
Saya naik pitam. Anak ini benar-benar keras kepala dan yakin dengan ucapannya. Lihatlah caranya berdiri dan menatap! Seakan ingin menantang tanding. Napasnya berhembus tidak beraturan, tanda emosinya sedang berancang-ancang membludak.

BRAK!

Ia menutup pintu kamarnya sekuat tenaga, menggetarkan dinding-dinding kayu rumah yang merambat hingga lantai tempat kaki saya perpijak. Hari ini membuat saya sadar akan dua hal. Pertama, meski saya adalah bapaknya, tapi saya tidak pernah mengerti jalan pikirannya. Kedua, saya tidak tahu harus mengambil keputusan apa. Anak ini benar-benar telah memperlihatkan kepala batu miliknya yang sesungguhnya!

Saya diam.



Awal April 1995
Bapak tidak juga kunjung bicara. Kepalanya masih membatu dan mulutnya masih membisu. Aku tidak peduli. Kelulusan dari sekolah menengah pertamaku tinggal menghitung bulan. Ada ataupun tidak ada jawaban dari bapak, toh aku tetap menang.

Aku diam saja.



Awal April 1995
Saya masih diam.



Akhir April 1995
Kami berbicara dengan situasi kepala kami yang masih membatu. Untungnya, ibu hadir sebagai pernerjemah bahasa tubuh kami yang kikuk. Kata ibu, bapak mengizinkanku untuk merantau asal tetap sekolah. Sekolahnya sudah ditentukan oleh bapak. Sebuah sekolah negeri terkemuka di kota Yogya milik kerabat jauh bapak. Aku tidak tahu harus merasa menang atau justru aku malah kembali dikalahkan oleh bapak? Aku menang untuk tuntutan merantau, tapi sejujurnya aku kalah terhadap tuntutan utamaku untuk tidak sekolah.

Aku terima kenyataan bahwa aku benar akan merantau jauh dari tanah kelahiranku, Bukit Tinggi, dalam hitungan beberapa bulan lagi dan aku -masih mencoba untuk menerima kenyataan- akan tetap sekolah. Aku diam. Aku bingung. Aku harap kepala batu ini tidak membawakan kebodohan berikutnya.



(tugas mata kuliah penulisan populer. Cerita belum berakhir.)


-ann-

Timun Mas dan Mbah Lolo

(tugas mata kuliah penulisan populer. ini bukan cerita asli Timun Mas, hanya pengembangan dari cerita aslinya ya :))

Hari itu hujan turun dengan sangat derasnya. Membuat para pekerja terpaksa kembali ke sangkar peraduannya masing-masing. Begitu pula dengan sepasang pasangan tua yang segera menuju sangkar bambunya untuk melindungi diri mereka dari air hujan yang menghujam dan menghangatkan diri dengan secangkir teh dan pisang goreng hangat. Mereka tidak pernah mempermasalahkan keadaan mereka yang sederhana seperti itu. Bagi mereka, kebersamaan diantara mereka sudah mencukupi hingga mereka akhirnya menyadari akan ketidakberadaan sesuatu yang pernah mereka harapkan beberapa puluh tahun sebelumnya.
“Seandainya kita memiliki seorang anak ya, Kek. Mungkin rumah kita sekarang tidak sesepi ini dan mungkin ada yang sedang duduk bersama kita dan menawarkan untuk menuangkan teh ke dalam cangkir kita ini ya , Kek?” Kata nenek.
“Ya, seandainya saja kita memiliki seorang anak ya, Nek.”
Beberapa hari setelah harapan yang diucapkan oleh kakek dan  nenek, terdengar sebuah desas-desus yang menyebar di kalangan petani desa mengenai Mbah Lolo. Mbah Lolo adalah sesosok wanita tua bertubuh gendut besar dan ia memiliki kekuatan sakti.rambutnya putih panjang beruban dan biasanya digulung ke atas dan ditenggerkan di atas kepalanya. Matanya tajam, terutama ketika sedang membelalakan matanya sebagai tanda tidak setuju dengan perkataan banyak yang berseberangan dengan pendapat ‘Mbah Lolo’. Begitulah mitos tentang Mbah Lolo yang beredar dari satu generasi ke generasi berikutnya.
“Mbah Lolo menawarkan pada siapapun yang berniat merawat bayi itu sebelum bayi itu dimakannya dengan lahap!“ Kata bu Darni, seorang petani tua yang sedang bercerita dengan sangat antusias.
“Kenapa ia menawarkannya kepada kita? Kenapa ia tidak langsung saja memakan bayi itu!“
“Mungkin Mbah Lolo sedang baik hati. Makanya ia menawarkan nayi itu kepada kita. Atau memang nasib bayi itu yang sedang bagus.“
“Kalau begitu siapa yang ingin dan berani mengambil serta mengurus bayi  tersebut?“ Pertanyaan itu mengoyak hati kakek dan nenek untuk mengatakana bahwa mereka yang bersedia melakukannya. Merekapun pergi menuju rumah Mbah Lolo sore itu juga.
Sesampainya di depan rumah Mbah Lolo, kakek dan nenek saling menatap takut. Berbagai bayangan berkelebat di dalam pikiran mereka.
“Seperti apa rupa mbah Lolo? Seramkah? Bagaimana dengan rupa anak itu? Apakah dia perempuan atau laki-laki? Apakah anak itu masih hidup atau justru tinggal tulang beluangnya saja? Atau jangan-jangan semua ini adalah jebakan agar Mbah Lolo bisa memakan kami berdua?” Batin kakek dan nenek di dalam hati mereka masing-masing.
Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Baru saja  mereka membalik punggung mereka, tiba-tiba terdengar suara tangisan seorang bayi dari dalam rumah Mbah Lolo. Arah suara tangisan itu semakin lama semakin mendekati pintu di hadapan mereka. Perlahan pintu terlihat mulai terbuka. Cahaya lampu dari dalam rumah  berlomba keluar menerobos sela-sela pintu untuk menerangi baggian-bagian gelap yang bisa dijangkaunya. Pintupun terbelalak lebar. Didapatinya sesosok wanita gembul mengenakan kain lusuh yang melilit tubuhnya dan rambut putih yang tergulung di atas kepalanya persis seperti kabar buruung yang beresedar selama ini. Matanya membelalak kaget, melotot hingga bulat sempurna. Alis putih tebalnya saling bertemu. Mulutnya membungkam rapat, tetapi membentuk senyum sinis pada salah satu ujung bibirnya. Hidungnya kembang kempis pertanda udara masuk keluardengan kecepatan tak terkendali.
“APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!” Bentak Mbah Lolo.
“Ka..ka...kami ingin...mengasuh…bayi itu…”
“Bayi?! Oh! Jadi kalian yang ingin mengasuhnya?! Baiklah. Akan aku berikan bayi ini kepada kalian dengan tiga syarat!”
“Apa itu?“
“Pertama, kalian harus menyerahkan seluruh ketimun di ladang kalian padaku!“
“Baik.“
“Kedua, kalian tidak diperbolehkan menanam ketimun sampai kapanpun!“
“Baik.“
“Ketiga, kalian harus mengembalikan bayi ini padaku di hari ia berusia tepat tujuh belas tahun jika tidak, maka kalianlah yang akan menanggung akibatnya. Kalianlah yang akan menjadi santapanku!“
“Ba...baik, Mbah.“
“Kalau begitu ambilah bayi ini dan pergilah!“
Sesampainya di rumah, kakek dan nenek melihat ladang ketimun mereka telah kosong. Ketimun-ketimun yang telah mereka rawat, lenyap begitu saja. Ada  perasaan kecewa yang hinggap di dalam hati mereka, tetapi tangisan sang bayi  yang berada di dalam gendongan sang nenek dengan cepat mengobati rasa kecewa mereka.
Bayi itu berjenis kelamin perempuan. Kemudian dia tumbuh menjadi gadis yang cantik, pintar, ramahm dan memiliki rasa cinta terhadap siapapun terutama kepada kakek dan nenek. Nama gadis itu adalah Timun Mas. Tidak terasa, Timun Mas telah diasuh oleh kakek dan nenek selama enam belas tahun dan dua hari lagi adalah hari genap usia Timun Mas menjadi tujuh belas tahun. Perjanjian antara kakek-nenek dan Mbah Lolo terus diingat oleh keduanya. Kakek dan nenek merasa sangat sayang kepada Timun Mas dan tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa gadis itu. Tepat satu hari sebelum usia Timun  genap tujuh belas tahun, kakek dan nenek menceritakan semuanya kepada Timun Mas dan memberikan bekal tiga buah kantung kecil kepadanya.
“Tiap kantung ini berisi tiga benda ajaib yang berbeda-beda. Gunakanlah di saat kau benar-benar merasa terancam.“
“Lalu bagaimana dengan kalian?“
“Kami akan tetap di sini.“
“Tapi bagaimana jika dia memakan kalian?“
“Tidak apa, Timun. Lebih baik sekarang kau pergi sebelum Mbah Lolo datang!“
Timun Mas segera mengikatkan tiga kantung kecil itu dipinggangnya dan segera berlari kencang menjauhi rumah menuju rumah Mbah Lolo.
“Aku tidak akan membiarkannya pergi menemui kakek dan nenek lebih dulu!“ Kata Timun Mas di dalam hati.
Waktu menunujukan hampir pukul 00.00 dini hari. Tiba-tiba langit malam berubah menjadi jingga bercampur biru dan kelabu. Tidak terlihat satupun benda langit di sana dan yang terdengar hanya bunyi guntur yang bersahut-sahutan ditambah kilatan petir yang sesekali menyala terang di langit. Sejauh Timun Mas memandang sekitarnya, ia hanya melihat kegelapan dengan cahaya seadanya dari kilatan-kilatan petir. Timun Mas merasa takut, tetapi ia tidak memiliki pilihan lain kalau dirinya ingin kakek dan neneknya selamat.
“MBAH LOLO!!!“ Teriak Timun Mas menantang. Suara auman terdengar. Tepat pukul dua belas tengah malam, terddengar  suara dentuman langkah kaki menghampiri Timun Mas. Baru kali itu Timun Mas mendapati seorang wanita tua bertubuh besar dan gempal. Wajahnya sangat menyeramkan. Gigi taringnya menyembul keluar dan berwarna hitam. Matanya melotot tajam. Rambutnya tergerai panjang dan berantakan.
Timun segera berlari menggiring Mbah Lolo menjauhhi desa dan menuju hutan. Mbah Lolo berlari mengejar Timun Mas. Merasa terancam, Timun mengambil kantung bekalnya yang berisi garam dan melemparkan garam tersebut ke arah muka Mbah Lolo. Garam yang dilemparkan Timun mengaburkan pandangan Mbah Lolo. Mbah Lolo mengamuk dan semakin mengejar Timun yang telah memasuki hutan.
Di hutan, Timun kembali mengambil kantung bekalnya yang berisi jarum. Ia sebarkan jarum itu dan kemudian daun pepohonan di hutan berubah menjadi jarum-jarum tajam dan melukai tubuh Mbah Lolo. Meski begitu, Mbah Lolo tetap bisa lolos dan mengejar Timun Mas.
Langkah Timun Mas terhenti ketika melihat aliran sungai yang berada di depannya.
“Alirannya tenang! Aku tidak mungkin menyeberanginya! Sungai itu sangat dalam!“ Kata Timun cemas di dalam hatinya.
Langkah Mbah Lolo semakin mendekat dan Timun Mas sudah tidak bisa kemana-mana lagi. Mbah Lolo telah mengepung Timun Mas sekarang.
“Tidak ada pilihan lain!”
Timun Mas segera mengambil kantung bekal ketiganya yang berisi sebuah batu. Dengan keberanian Timun Mas menggenggam batu itu dan hendak melemparkannya ke arah Mbah Lolo. Sebelum akhirnya Mbah Lolo terjatuh karena luka-luka pada tubuhnya. Timun Mas segera mengurungkan niatnya dan menaruh kembali batu itu ke dalam kantungnya. Timun Mas yang merasa iba kemudian segera mengambil air dari sungai yang berada di dekat mereka dengan selembar daun lebar sebagai alas untuk menampung air tersebut. Lalu Timun Mas memberi minum Mbah Lolo dengan air itu dan membersihkan kotoran dan debu yang menempel pada luka-luka di tubuh Mbah Lolo.
“Maafkan aku.”  Kata Timun dengan nada yang menyesal. “Karena jarum yang aku  tebar, kau jadi terluka seperti ini.“
Tidak ada jawaban sedikitpun dari mulut Mbah Lolo.
“Kau marah, ya? Aku benar-benar minta maaf karena aku yang bersalah. Jangan kau datangi kakek dan nenek lalu memakan mereka. Biarkan mereka hidup.“
“Aku tidak akan memakan mereka.“ Suara Mbah Lolo terdengar lembut.
“Tapi bukankah kalian sudah membuat perjanjian?“
“Ya. Sebenarnya aku hanya ingin tahu bagaimana cara mereka mendidikmu yang bukan darah daging mereka. Ternyata mereka memperlakukan dan mengajarimu sesuatu yang baik dan benar. Kau tumbuh sebagai gadis yang memiliki kepedulian pada siapapun.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Dari caramu memperlakukanku. Sekarang pulanglah! Temui kakek dan nenekmu serta sampaikan salamku untuk mereka.”

Mbah Lolo tersenyum ramah. Kini taringnya tidak lagi menyembul keluar, rambutnya ia gulung ke atas dan matanya sedikit menyipit karena dorongan dari tulang pipinya sebagai reaksi dari senyum ramahnya itu. Langit berubah menjadi pagi. Matahari dan kokok ayam menandakan telah berakhirnya semua perjuangan Timun Mas.


-ann-

Sabtu, 22 Maret 2014

ingin terbang

Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan
Akhirnya datang
Di langit pagi yang di nanti
Oleh dua bocah dari atas bukit
Sedang memerangi bisunya sepi
Hanya angin terus menemani
Meniup kisah-kisah pelangi
Mengalun masuk ke telinga dua bocah
Menggelitik keduanya
Dua bocah itu hanya ingin bermain
Dengan kisah-kisah yang bertiup
Dan membawanya pergi berkelana jauh
Melupakan sepi dan kerinduan dari atas bukit
Mereka
Ingin
Merentangkan
Kedua
Tangannya
Lalu
Terbang
Bebas
Lebih
Bebas
Dari
Mereka
Tak
Bisa
Terbang
Bebas.




-ann-

Senin, 10 Maret 2014

titik dua tutup kurung

Saat aku bertemu kau
dan kau bertemu aku,
tersenyumlah...
meski kau dan aku
sama-sama tidak mau berkata-kata
dan kita sudah terlanjur beradu tatap

saat kau dan aku bertemu mereka,
juga tersenyumlah...
meski senyummu terkadang berpura-pura
seperti pertanyaan yang telah ditanyakan ribuan kali di hari itu:
“Hai, dari mana?“
“Hai, mau ke mana?“

Tersenyumlah karna kita
sama-sama tahu dan sama-sama tidak tahu
berapa banyak beban tersembunyi
di balik punggung kita masing-masing
sejak hari kemarin dan kemarinnya

Jadi, jika kau, aku, dan mereka nanti bertemu,
beradu tatap, dan tidak mau berkata-kata
untuk berpura-pura bertanya kabar,
cukup tersenyumlah...


itu saja.


-an-

Sabtu, 01 Maret 2014

diam-diam Diam diam

Meski diam dan diam diam, tapi diam dan diam tak diam
karna diam tahu diam dan diam tahu diam
lalu diam dan diam diam
meski diam dan diam diam, tapi diam dan diam tak diam
karna diam tahu diam dan diam tahu diam
lalu diam dan diam diam
meski diam dan diam diam, tapi diam dan diam tak diam
karna diam tahu diam dan diam tahu diam
lalu diam dan diam diam
meski diam dan diam diam, tapi diam dan diam tak diam
karna diam tahu diam dan diam tahu diam
lalu diam dan diam diam

meski diam dan diam diam, tapi diam dan diam tak diam, Diam?


-an-