(tugas mata kuliah penulisan populer. ini bukan cerita asli Timun Mas, hanya pengembangan dari cerita aslinya ya :))
Hari
itu hujan turun dengan sangat derasnya. Membuat para pekerja terpaksa kembali ke sangkar
peraduannya masing-masing. Begitu pula dengan sepasang pasangan tua yang segera
menuju sangkar bambunya untuk melindungi diri mereka dari air hujan yang
menghujam dan menghangatkan diri dengan secangkir teh dan pisang goreng
hangat. Mereka tidak pernah mempermasalahkan keadaan mereka yang sederhana
seperti itu. Bagi mereka, kebersamaan diantara mereka sudah mencukupi hingga
mereka akhirnya menyadari akan ketidakberadaan sesuatu yang pernah mereka
harapkan beberapa puluh tahun sebelumnya.
“Seandainya
kita memiliki seorang anak ya, Kek. Mungkin rumah kita sekarang tidak sesepi ini
dan mungkin ada yang sedang duduk bersama kita dan menawarkan untuk menuangkan
teh ke dalam cangkir kita ini ya , Kek?” Kata nenek.
“Ya,
seandainya saja kita memiliki seorang anak ya, Nek.”
Beberapa
hari setelah harapan yang diucapkan oleh kakek dan nenek, terdengar sebuah desas-desus yang
menyebar di kalangan petani desa mengenai Mbah Lolo. Mbah Lolo adalah sesosok
wanita tua bertubuh gendut besar dan ia memiliki kekuatan sakti.rambutnya putih
panjang beruban dan biasanya digulung ke atas dan ditenggerkan di atas
kepalanya. Matanya tajam, terutama ketika sedang membelalakan matanya sebagai
tanda tidak setuju dengan perkataan banyak yang berseberangan dengan pendapat ‘Mbah
Lolo’. Begitulah mitos
tentang Mbah Lolo yang beredar dari satu generasi ke generasi berikutnya.
“Mbah
Lolo menawarkan pada siapapun yang berniat merawat bayi itu sebelum bayi itu
dimakannya dengan lahap!“ Kata bu Darni, seorang petani tua yang sedang
bercerita dengan sangat antusias.
“Kenapa
ia menawarkannya kepada kita? Kenapa ia tidak langsung saja memakan bayi itu!“
“Mungkin
Mbah Lolo sedang baik hati. Makanya ia menawarkan nayi itu kepada kita. Atau
memang nasib bayi itu yang sedang bagus.“
“Kalau
begitu siapa yang ingin dan berani mengambil serta mengurus bayi tersebut?“ Pertanyaan itu mengoyak hati kakek
dan nenek untuk mengatakana bahwa mereka yang bersedia melakukannya. Merekapun
pergi menuju rumah Mbah Lolo sore itu juga.
Sesampainya
di depan rumah Mbah Lolo, kakek dan nenek saling menatap takut. Berbagai bayangan berkelebat di dalam pikiran mereka.
“Seperti
apa rupa mbah Lolo? Seramkah? Bagaimana dengan rupa anak itu? Apakah dia
perempuan atau laki-laki? Apakah anak itu masih hidup atau justru tinggal
tulang beluangnya saja? Atau jangan-jangan semua ini adalah jebakan agar Mbah
Lolo bisa memakan kami berdua?” Batin kakek dan nenek di dalam hati mereka
masing-masing.
Akhirnya
mereka memutuskan untuk pulang. Baru saja
mereka membalik punggung mereka, tiba-tiba terdengar suara tangisan
seorang bayi dari dalam rumah Mbah Lolo. Arah suara tangisan itu semakin lama semakin mendekati
pintu di hadapan mereka. Perlahan pintu terlihat mulai terbuka. Cahaya lampu
dari dalam rumah berlomba keluar
menerobos sela-sela pintu untuk menerangi baggian-bagian gelap yang bisa
dijangkaunya. Pintupun terbelalak lebar. Didapatinya sesosok wanita gembul
mengenakan kain lusuh yang melilit tubuhnya dan rambut putih yang tergulung di
atas kepalanya persis seperti kabar buruung yang beresedar selama ini. Matanya
membelalak kaget, melotot hingga bulat sempurna. Alis putih tebalnya saling
bertemu. Mulutnya membungkam rapat, tetapi membentuk senyum sinis pada salah
satu ujung bibirnya. Hidungnya kembang kempis pertanda udara masuk keluardengan
kecepatan tak terkendali.
“APA
YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!” Bentak
Mbah Lolo.
“Ka..ka...kami
ingin...mengasuh…bayi itu…”
“Bayi?!
Oh! Jadi kalian yang ingin mengasuhnya?! Baiklah. Akan aku berikan bayi ini kepada kalian dengan tiga
syarat!”
“Apa
itu?“
“Pertama,
kalian harus menyerahkan seluruh ketimun di ladang kalian padaku!“
“Baik.“
“Kedua,
kalian tidak diperbolehkan menanam ketimun sampai kapanpun!“
“Baik.“
“Ketiga,
kalian harus mengembalikan bayi ini padaku di hari ia berusia tepat tujuh belas
tahun jika tidak, maka kalianlah yang akan menanggung akibatnya. Kalianlah yang
akan menjadi santapanku!“
“Ba...baik,
Mbah.“
“Kalau
begitu ambilah bayi ini dan pergilah!“
Sesampainya
di rumah, kakek dan nenek melihat ladang ketimun mereka telah kosong.
Ketimun-ketimun yang telah mereka rawat, lenyap begitu saja. Ada perasaan kecewa yang hinggap di dalam hati
mereka, tetapi tangisan sang bayi yang
berada di dalam gendongan sang nenek dengan cepat mengobati rasa kecewa mereka.
Bayi
itu berjenis kelamin perempuan. Kemudian dia tumbuh menjadi gadis yang cantik,
pintar, ramahm dan memiliki rasa cinta terhadap siapapun terutama kepada kakek
dan nenek. Nama gadis itu adalah Timun Mas. Tidak terasa, Timun Mas telah diasuh
oleh kakek dan nenek selama enam belas tahun dan dua hari lagi adalah hari
genap usia Timun Mas menjadi tujuh belas tahun. Perjanjian antara kakek-nenek
dan Mbah Lolo terus diingat oleh keduanya. Kakek dan nenek merasa sangat sayang kepada Timun Mas
dan tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa gadis itu. Tepat satu hari sebelum
usia Timun genap tujuh belas tahun,
kakek dan nenek menceritakan semuanya kepada Timun Mas dan memberikan bekal
tiga buah kantung kecil kepadanya.
“Tiap
kantung ini berisi tiga benda ajaib yang berbeda-beda. Gunakanlah di saat kau
benar-benar merasa terancam.“
“Lalu
bagaimana dengan kalian?“
“Kami
akan tetap di sini.“
“Tapi
bagaimana jika dia memakan kalian?“
“Tidak
apa, Timun. Lebih baik sekarang
kau pergi sebelum Mbah Lolo datang!“
Timun
Mas segera mengikatkan tiga kantung kecil itu dipinggangnya dan segera berlari
kencang menjauhi rumah menuju rumah Mbah Lolo.
“Aku tidak akan membiarkannya pergi menemui kakek dan
nenek lebih dulu!“ Kata Timun Mas di dalam hati.
Waktu menunujukan hampir pukul 00.00 dini hari. Tiba-tiba
langit malam berubah menjadi jingga bercampur biru dan kelabu. Tidak terlihat
satupun benda langit di sana dan yang terdengar hanya bunyi guntur yang
bersahut-sahutan ditambah kilatan petir yang sesekali menyala terang di langit.
Sejauh Timun Mas memandang sekitarnya, ia hanya melihat kegelapan dengan cahaya
seadanya dari kilatan-kilatan petir. Timun Mas merasa takut, tetapi ia tidak
memiliki pilihan lain kalau dirinya ingin kakek dan neneknya selamat.
“MBAH LOLO!!!“ Teriak Timun Mas menantang. Suara auman
terdengar. Tepat pukul dua belas tengah malam, terddengar suara dentuman langkah kaki menghampiri Timun
Mas. Baru kali itu Timun Mas mendapati seorang wanita tua bertubuh besar dan
gempal. Wajahnya sangat menyeramkan. Gigi taringnya menyembul keluar dan
berwarna hitam. Matanya melotot tajam. Rambutnya tergerai panjang dan
berantakan.
Timun segera berlari menggiring Mbah Lolo menjauhhi desa
dan menuju hutan. Mbah Lolo berlari mengejar Timun Mas. Merasa terancam, Timun
mengambil kantung bekalnya yang berisi garam dan melemparkan garam tersebut ke
arah muka Mbah Lolo. Garam yang dilemparkan Timun mengaburkan pandangan Mbah
Lolo. Mbah Lolo mengamuk dan semakin mengejar Timun yang telah memasuki hutan.
Di hutan, Timun kembali mengambil kantung bekalnya yang
berisi jarum. Ia sebarkan jarum itu dan kemudian daun pepohonan di hutan
berubah menjadi jarum-jarum tajam dan melukai tubuh Mbah Lolo. Meski begitu, Mbah
Lolo tetap bisa lolos dan mengejar Timun Mas.
Langkah Timun Mas terhenti ketika melihat aliran sungai
yang berada di depannya.
“Alirannya tenang! Aku tidak mungkin menyeberanginya!
Sungai itu sangat dalam!“ Kata Timun cemas di dalam hatinya.
Langkah Mbah Lolo semakin mendekat dan Timun Mas sudah
tidak bisa kemana-mana lagi. Mbah
Lolo telah mengepung Timun Mas sekarang.
“Tidak ada pilihan lain!”
Timun Mas segera mengambil kantung bekal ketiganya yang
berisi sebuah batu. Dengan keberanian Timun Mas menggenggam batu itu dan hendak
melemparkannya ke arah Mbah Lolo. Sebelum akhirnya Mbah Lolo terjatuh karena
luka-luka pada tubuhnya. Timun Mas segera mengurungkan niatnya dan menaruh
kembali batu itu ke dalam kantungnya. Timun Mas yang merasa iba kemudian segera
mengambil air dari sungai yang berada di dekat mereka dengan selembar daun
lebar sebagai alas untuk menampung air tersebut. Lalu Timun Mas memberi minum Mbah
Lolo dengan air itu dan membersihkan kotoran dan debu yang menempel pada
luka-luka di tubuh Mbah Lolo.
“Maafkan aku.”
Kata Timun dengan nada yang menyesal. “Karena jarum yang aku tebar, kau jadi terluka seperti ini.“
Tidak ada jawaban sedikitpun dari mulut Mbah Lolo.
“Kau marah, ya? Aku benar-benar minta maaf karena aku
yang bersalah. Jangan kau datangi kakek dan nenek lalu memakan mereka. Biarkan
mereka hidup.“
“Aku tidak akan memakan mereka.“ Suara Mbah Lolo
terdengar lembut.
“Tapi bukankah kalian sudah membuat perjanjian?“
“Ya. Sebenarnya aku hanya ingin tahu bagaimana cara
mereka mendidikmu yang bukan darah daging mereka. Ternyata mereka memperlakukan dan mengajarimu sesuatu yang
baik dan benar. Kau tumbuh sebagai gadis yang memiliki kepedulian pada
siapapun.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Dari caramu memperlakukanku. Sekarang pulanglah! Temui
kakek dan nenekmu serta sampaikan salamku untuk mereka.”
Mbah Lolo tersenyum ramah. Kini taringnya tidak lagi
menyembul keluar, rambutnya ia gulung ke atas dan matanya sedikit menyipit
karena dorongan dari tulang pipinya sebagai reaksi dari senyum ramahnya itu.
Langit berubah menjadi pagi. Matahari dan kokok ayam menandakan telah
berakhirnya semua perjuangan Timun Mas.
-ann-