Selasa, 25 Maret 2014

rantau

Rantau bukanlah kata yang asing lagi bagi orang seperti aku. Seorang pemuda berusia setengah abad yang hidupnya berpindah-pindah tempat singgah. Banyak alasan – yang kukatakan ‘mengharuskan‘ – aku untuk merantau ke kota orang. Mulai dari pendidikan hingga pekerjaan untuk memenuhi pundi-pundi kering yang merengek minta diisi bagai anak bayi minta disusui ibunya.
Orang berharap merantau akan membuatmu pulang dengan lembaran kertas warna-warni bernominal yang siap ditukarkan dengan kendaraan mewah beroda empat atau gubuk bertingkat berdinding bata. Kemudian berakhir hanya sebagai pajangan di kampung halaman karena harus di tinggal merantau kembali. Jadilah ajang pertanda ‘kesuksesan merantau‘. Tapi lebih penting dari itu semua, aku merantau karena ingin kaya akan pengalaman hidup. Hidup Cuma sekali saja toh? Jadi untuk apa terus meringkuk, memenjarakan diri di atas tanah kota kelahiran dengan rutinitas yang sudah dihafal luar kepala? Dunia ini luas, kawan! Janganlah kau persempit segalanya. Kelak, entah kapan, kita akan kembali berjalan pulang ke dalam pelukan ibu di tanah kota kelahiran kita. Sekarang kita terbanglah layaknya burung besi di atas sana!


***

Maret 1995
GOMPYANG!
PRANG!
BRAK!
Pertengkaran kala itu sungguh hebat. Sebagai anak yang beranjak remaja, egoku sedang berada dipuncaknya. Tidak mau terkalahkan oleh apapun dan siapapun, sekalipun itu bapakku sendiri.
Bapak adalah sosok yang pendiam. Mungkin ia penganut setia pribahasa ‘diam itu emas’ atau mungkin ribuan buku yang dibacanya selalu terselip kalimat ‘diamlah, Pak. Diam itu emas’. Lalu segala kata-kata yang bapak miliki tersedot dan terkunci rapat di dalam buku-buku itu. Ah,  mungkin imajinasiku terlalu berlebih.
Bapak jarang sekali berbicara, tetapi sekalinya ia berbicara seluruh semesta seakan mendukung isi pembicaraannya. Tak ada seorangpun anggota keluarga yang berani menentang bapak. Tidak kedua kakak perempuan dan laki-lakiku dan tidak pula ibu dan adik perempuanku. Terkecuali anak ketiga bapak yang berani, yaitu aku.
Aku tumbuh sebagai seorang pemuda pemberontak, begitulah kata ibu untuk menyadarkanku. Aku tidak peduli selama aku memberontak akan hal yang aku anggap benar untuk kehidupanku. Terlalu mementingkan diri sendiri? Ya, memang dan lagi-lagi aku tidak peduli. Sering aku menentang omongan bapak, menentang semesta yang mendukungnya, dan memancing bapak agar keluar dari bungkam emasnya.
Selama lima belas tahun hidup bersama bapak, jelas membuat bapak hafal kelakuanku yang satu itu dan bapak paham satu-satunya cara untuk melawanku adalah tetap bungkam dalam emasnya dan berbicara jika ia berkehendak dirinya harus bicara. Seumur hidup saya, saya selalu kalah hingga Maret 1995. Kami bertengkar karena kepala batu kami yang sama kerasnya.

“Saya tidak mau sekolah,  Pak!“

PRANG!

Bapak membanting piring yang sedang dipegangnya tepat di depan mataku.



Maret 1995
Rantau bukanlah kata asing bagi saya. Tidak mudah merantau ke kota orang, terutama bagi anak berusia lima belas tahun dan anak ini bersikeras untuk pergi merantau. Jika tidak diberi izin, dia menawarkan dua pilihan:

“Di sini tapi tidak sekolah atau pergi merantau tapi tetap sekolah?!“

PRANG!

Saya membanting piring yang saya pegang dengan penuh amarah. Seumur hidup, saya tidak pernah ditentang sebegitu kerasnya oleh anak ini. Sekarang dia mengancam dengan alasan pendidikan untuk menutupi kemalasannya! Dia tahu seberapa pentingnya pendidikan bagi saya dan baginya pendidikan bukanlah hal yang begitu penting.
Saya naik pitam. Anak ini benar-benar keras kepala dan yakin dengan ucapannya. Lihatlah caranya berdiri dan menatap! Seakan ingin menantang tanding. Napasnya berhembus tidak beraturan, tanda emosinya sedang berancang-ancang membludak.

BRAK!

Ia menutup pintu kamarnya sekuat tenaga, menggetarkan dinding-dinding kayu rumah yang merambat hingga lantai tempat kaki saya perpijak. Hari ini membuat saya sadar akan dua hal. Pertama, meski saya adalah bapaknya, tapi saya tidak pernah mengerti jalan pikirannya. Kedua, saya tidak tahu harus mengambil keputusan apa. Anak ini benar-benar telah memperlihatkan kepala batu miliknya yang sesungguhnya!

Saya diam.



Awal April 1995
Bapak tidak juga kunjung bicara. Kepalanya masih membatu dan mulutnya masih membisu. Aku tidak peduli. Kelulusan dari sekolah menengah pertamaku tinggal menghitung bulan. Ada ataupun tidak ada jawaban dari bapak, toh aku tetap menang.

Aku diam saja.



Awal April 1995
Saya masih diam.



Akhir April 1995
Kami berbicara dengan situasi kepala kami yang masih membatu. Untungnya, ibu hadir sebagai pernerjemah bahasa tubuh kami yang kikuk. Kata ibu, bapak mengizinkanku untuk merantau asal tetap sekolah. Sekolahnya sudah ditentukan oleh bapak. Sebuah sekolah negeri terkemuka di kota Yogya milik kerabat jauh bapak. Aku tidak tahu harus merasa menang atau justru aku malah kembali dikalahkan oleh bapak? Aku menang untuk tuntutan merantau, tapi sejujurnya aku kalah terhadap tuntutan utamaku untuk tidak sekolah.

Aku terima kenyataan bahwa aku benar akan merantau jauh dari tanah kelahiranku, Bukit Tinggi, dalam hitungan beberapa bulan lagi dan aku -masih mencoba untuk menerima kenyataan- akan tetap sekolah. Aku diam. Aku bingung. Aku harap kepala batu ini tidak membawakan kebodohan berikutnya.



(tugas mata kuliah penulisan populer. Cerita belum berakhir.)


-ann-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar