Rantau bukanlah kata yang asing lagi bagi orang seperti
aku. Seorang pemuda berusia setengah abad yang hidupnya berpindah-pindah tempat
singgah. Banyak alasan – yang kukatakan ‘mengharuskan‘ – aku untuk merantau ke
kota orang. Mulai dari pendidikan hingga pekerjaan untuk memenuhi pundi-pundi
kering yang merengek minta diisi bagai anak bayi minta disusui ibunya.
Orang berharap merantau akan membuatmu pulang dengan
lembaran kertas warna-warni bernominal yang siap ditukarkan dengan kendaraan
mewah beroda empat atau gubuk bertingkat berdinding bata. Kemudian berakhir
hanya sebagai pajangan di kampung halaman karena harus di tinggal merantau
kembali. Jadilah ajang pertanda ‘kesuksesan merantau‘. Tapi lebih penting dari
itu semua, aku merantau karena ingin kaya akan pengalaman hidup. Hidup Cuma
sekali saja toh? Jadi untuk apa terus
meringkuk, memenjarakan diri di atas tanah kota kelahiran dengan rutinitas yang
sudah dihafal luar kepala? Dunia ini luas, kawan! Janganlah kau persempit
segalanya. Kelak, entah kapan, kita akan kembali berjalan pulang ke dalam
pelukan ibu di tanah kota kelahiran kita. Sekarang kita terbanglah layaknya
burung besi di atas sana!
***
Maret 1995
GOMPYANG!
PRANG!
BRAK!
Pertengkaran kala itu sungguh hebat. Sebagai anak yang
beranjak remaja, egoku sedang berada dipuncaknya. Tidak mau terkalahkan oleh
apapun dan siapapun, sekalipun itu bapakku sendiri.
Bapak adalah sosok yang
pendiam. Mungkin ia penganut setia pribahasa ‘diam itu emas’ atau mungkin
ribuan buku yang dibacanya selalu terselip kalimat ‘diamlah, Pak. Diam itu
emas’. Lalu segala kata-kata yang bapak miliki tersedot dan terkunci rapat di
dalam buku-buku itu. Ah, mungkin
imajinasiku terlalu berlebih.
Bapak jarang sekali
berbicara, tetapi sekalinya ia berbicara seluruh semesta seakan mendukung isi
pembicaraannya. Tak ada seorangpun anggota keluarga yang berani menentang
bapak. Tidak kedua kakak perempuan dan laki-lakiku dan tidak pula ibu dan adik
perempuanku. Terkecuali anak ketiga bapak yang berani, yaitu aku.
Aku tumbuh sebagai seorang
pemuda pemberontak, begitulah kata ibu untuk menyadarkanku. Aku tidak peduli
selama aku memberontak akan hal yang aku anggap benar untuk kehidupanku. Terlalu mementingkan diri sendiri? Ya, memang dan
lagi-lagi aku tidak peduli. Sering aku menentang omongan bapak, menentang
semesta yang mendukungnya, dan memancing bapak agar keluar dari bungkam emasnya.
Selama lima belas tahun hidup bersama bapak, jelas
membuat bapak hafal kelakuanku yang satu itu dan bapak paham satu-satunya cara
untuk melawanku adalah tetap bungkam dalam emasnya dan berbicara jika ia
berkehendak dirinya harus bicara. Seumur hidup saya, saya selalu kalah hingga
Maret 1995. Kami bertengkar karena kepala batu kami yang sama kerasnya.
“Saya tidak mau sekolah,
Pak!“
PRANG!
Bapak membanting piring yang
sedang dipegangnya tepat di depan mataku.
Maret 1995
Rantau bukanlah kata asing
bagi saya. Tidak mudah merantau ke kota orang, terutama bagi anak berusia lima
belas tahun dan anak ini bersikeras untuk pergi merantau. Jika tidak diberi izin, dia menawarkan dua pilihan:
“Di sini tapi tidak sekolah atau pergi merantau tapi
tetap sekolah?!“
PRANG!
Saya membanting piring yang
saya pegang dengan penuh amarah. Seumur hidup, saya tidak pernah ditentang
sebegitu kerasnya oleh anak ini. Sekarang dia mengancam dengan alasan
pendidikan untuk menutupi kemalasannya! Dia tahu seberapa pentingnya pendidikan
bagi saya dan baginya pendidikan bukanlah hal yang begitu penting.
Saya naik pitam. Anak ini benar-benar keras kepala dan yakin dengan
ucapannya. Lihatlah caranya berdiri dan menatap! Seakan ingin menantang
tanding. Napasnya berhembus tidak beraturan, tanda emosinya sedang
berancang-ancang membludak.
BRAK!
Ia menutup pintu kamarnya sekuat tenaga, menggetarkan
dinding-dinding kayu rumah yang merambat hingga lantai tempat kaki saya
perpijak. Hari ini membuat saya sadar akan dua hal. Pertama, meski saya adalah
bapaknya, tapi saya tidak pernah mengerti jalan pikirannya. Kedua, saya tidak
tahu harus mengambil keputusan apa. Anak ini benar-benar telah memperlihatkan
kepala batu miliknya yang sesungguhnya!
Saya diam.
Awal April 1995
Bapak tidak juga kunjung bicara. Kepalanya masih membatu
dan mulutnya masih membisu. Aku tidak peduli. Kelulusan dari sekolah menengah
pertamaku tinggal menghitung bulan. Ada ataupun tidak ada jawaban dari bapak, toh aku tetap menang.
Aku diam saja.
Awal April 1995
Saya masih diam.
Akhir April 1995
Kami berbicara dengan situasi kepala kami yang masih
membatu. Untungnya, ibu hadir sebagai pernerjemah bahasa tubuh kami yang kikuk.
Kata ibu, bapak mengizinkanku untuk merantau asal tetap sekolah. Sekolahnya
sudah ditentukan oleh bapak. Sebuah sekolah negeri terkemuka di kota Yogya
milik kerabat jauh bapak. Aku tidak tahu harus merasa menang atau justru aku malah
kembali dikalahkan oleh bapak? Aku menang untuk tuntutan merantau, tapi
sejujurnya aku kalah terhadap tuntutan utamaku untuk tidak sekolah.
Aku terima kenyataan bahwa aku benar akan merantau jauh
dari tanah kelahiranku, Bukit Tinggi, dalam hitungan beberapa bulan lagi dan
aku -masih mencoba untuk menerima kenyataan- akan tetap sekolah. Aku diam. Aku
bingung. Aku harap kepala batu ini tidak membawakan kebodohan berikutnya.
(tugas mata kuliah penulisan populer. Cerita belum berakhir.)
-ann-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar