Selasa, 25 Maret 2014

Timun Mas dan Mbah Lolo

(tugas mata kuliah penulisan populer. ini bukan cerita asli Timun Mas, hanya pengembangan dari cerita aslinya ya :))

Hari itu hujan turun dengan sangat derasnya. Membuat para pekerja terpaksa kembali ke sangkar peraduannya masing-masing. Begitu pula dengan sepasang pasangan tua yang segera menuju sangkar bambunya untuk melindungi diri mereka dari air hujan yang menghujam dan menghangatkan diri dengan secangkir teh dan pisang goreng hangat. Mereka tidak pernah mempermasalahkan keadaan mereka yang sederhana seperti itu. Bagi mereka, kebersamaan diantara mereka sudah mencukupi hingga mereka akhirnya menyadari akan ketidakberadaan sesuatu yang pernah mereka harapkan beberapa puluh tahun sebelumnya.
“Seandainya kita memiliki seorang anak ya, Kek. Mungkin rumah kita sekarang tidak sesepi ini dan mungkin ada yang sedang duduk bersama kita dan menawarkan untuk menuangkan teh ke dalam cangkir kita ini ya , Kek?” Kata nenek.
“Ya, seandainya saja kita memiliki seorang anak ya, Nek.”
Beberapa hari setelah harapan yang diucapkan oleh kakek dan  nenek, terdengar sebuah desas-desus yang menyebar di kalangan petani desa mengenai Mbah Lolo. Mbah Lolo adalah sesosok wanita tua bertubuh gendut besar dan ia memiliki kekuatan sakti.rambutnya putih panjang beruban dan biasanya digulung ke atas dan ditenggerkan di atas kepalanya. Matanya tajam, terutama ketika sedang membelalakan matanya sebagai tanda tidak setuju dengan perkataan banyak yang berseberangan dengan pendapat ‘Mbah Lolo’. Begitulah mitos tentang Mbah Lolo yang beredar dari satu generasi ke generasi berikutnya.
“Mbah Lolo menawarkan pada siapapun yang berniat merawat bayi itu sebelum bayi itu dimakannya dengan lahap!“ Kata bu Darni, seorang petani tua yang sedang bercerita dengan sangat antusias.
“Kenapa ia menawarkannya kepada kita? Kenapa ia tidak langsung saja memakan bayi itu!“
“Mungkin Mbah Lolo sedang baik hati. Makanya ia menawarkan nayi itu kepada kita. Atau memang nasib bayi itu yang sedang bagus.“
“Kalau begitu siapa yang ingin dan berani mengambil serta mengurus bayi  tersebut?“ Pertanyaan itu mengoyak hati kakek dan nenek untuk mengatakana bahwa mereka yang bersedia melakukannya. Merekapun pergi menuju rumah Mbah Lolo sore itu juga.
Sesampainya di depan rumah Mbah Lolo, kakek dan nenek saling menatap takut. Berbagai bayangan berkelebat di dalam pikiran mereka.
“Seperti apa rupa mbah Lolo? Seramkah? Bagaimana dengan rupa anak itu? Apakah dia perempuan atau laki-laki? Apakah anak itu masih hidup atau justru tinggal tulang beluangnya saja? Atau jangan-jangan semua ini adalah jebakan agar Mbah Lolo bisa memakan kami berdua?” Batin kakek dan nenek di dalam hati mereka masing-masing.
Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Baru saja  mereka membalik punggung mereka, tiba-tiba terdengar suara tangisan seorang bayi dari dalam rumah Mbah Lolo. Arah suara tangisan itu semakin lama semakin mendekati pintu di hadapan mereka. Perlahan pintu terlihat mulai terbuka. Cahaya lampu dari dalam rumah  berlomba keluar menerobos sela-sela pintu untuk menerangi baggian-bagian gelap yang bisa dijangkaunya. Pintupun terbelalak lebar. Didapatinya sesosok wanita gembul mengenakan kain lusuh yang melilit tubuhnya dan rambut putih yang tergulung di atas kepalanya persis seperti kabar buruung yang beresedar selama ini. Matanya membelalak kaget, melotot hingga bulat sempurna. Alis putih tebalnya saling bertemu. Mulutnya membungkam rapat, tetapi membentuk senyum sinis pada salah satu ujung bibirnya. Hidungnya kembang kempis pertanda udara masuk keluardengan kecepatan tak terkendali.
“APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!” Bentak Mbah Lolo.
“Ka..ka...kami ingin...mengasuh…bayi itu…”
“Bayi?! Oh! Jadi kalian yang ingin mengasuhnya?! Baiklah. Akan aku berikan bayi ini kepada kalian dengan tiga syarat!”
“Apa itu?“
“Pertama, kalian harus menyerahkan seluruh ketimun di ladang kalian padaku!“
“Baik.“
“Kedua, kalian tidak diperbolehkan menanam ketimun sampai kapanpun!“
“Baik.“
“Ketiga, kalian harus mengembalikan bayi ini padaku di hari ia berusia tepat tujuh belas tahun jika tidak, maka kalianlah yang akan menanggung akibatnya. Kalianlah yang akan menjadi santapanku!“
“Ba...baik, Mbah.“
“Kalau begitu ambilah bayi ini dan pergilah!“
Sesampainya di rumah, kakek dan nenek melihat ladang ketimun mereka telah kosong. Ketimun-ketimun yang telah mereka rawat, lenyap begitu saja. Ada  perasaan kecewa yang hinggap di dalam hati mereka, tetapi tangisan sang bayi  yang berada di dalam gendongan sang nenek dengan cepat mengobati rasa kecewa mereka.
Bayi itu berjenis kelamin perempuan. Kemudian dia tumbuh menjadi gadis yang cantik, pintar, ramahm dan memiliki rasa cinta terhadap siapapun terutama kepada kakek dan nenek. Nama gadis itu adalah Timun Mas. Tidak terasa, Timun Mas telah diasuh oleh kakek dan nenek selama enam belas tahun dan dua hari lagi adalah hari genap usia Timun Mas menjadi tujuh belas tahun. Perjanjian antara kakek-nenek dan Mbah Lolo terus diingat oleh keduanya. Kakek dan nenek merasa sangat sayang kepada Timun Mas dan tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa gadis itu. Tepat satu hari sebelum usia Timun  genap tujuh belas tahun, kakek dan nenek menceritakan semuanya kepada Timun Mas dan memberikan bekal tiga buah kantung kecil kepadanya.
“Tiap kantung ini berisi tiga benda ajaib yang berbeda-beda. Gunakanlah di saat kau benar-benar merasa terancam.“
“Lalu bagaimana dengan kalian?“
“Kami akan tetap di sini.“
“Tapi bagaimana jika dia memakan kalian?“
“Tidak apa, Timun. Lebih baik sekarang kau pergi sebelum Mbah Lolo datang!“
Timun Mas segera mengikatkan tiga kantung kecil itu dipinggangnya dan segera berlari kencang menjauhi rumah menuju rumah Mbah Lolo.
“Aku tidak akan membiarkannya pergi menemui kakek dan nenek lebih dulu!“ Kata Timun Mas di dalam hati.
Waktu menunujukan hampir pukul 00.00 dini hari. Tiba-tiba langit malam berubah menjadi jingga bercampur biru dan kelabu. Tidak terlihat satupun benda langit di sana dan yang terdengar hanya bunyi guntur yang bersahut-sahutan ditambah kilatan petir yang sesekali menyala terang di langit. Sejauh Timun Mas memandang sekitarnya, ia hanya melihat kegelapan dengan cahaya seadanya dari kilatan-kilatan petir. Timun Mas merasa takut, tetapi ia tidak memiliki pilihan lain kalau dirinya ingin kakek dan neneknya selamat.
“MBAH LOLO!!!“ Teriak Timun Mas menantang. Suara auman terdengar. Tepat pukul dua belas tengah malam, terddengar  suara dentuman langkah kaki menghampiri Timun Mas. Baru kali itu Timun Mas mendapati seorang wanita tua bertubuh besar dan gempal. Wajahnya sangat menyeramkan. Gigi taringnya menyembul keluar dan berwarna hitam. Matanya melotot tajam. Rambutnya tergerai panjang dan berantakan.
Timun segera berlari menggiring Mbah Lolo menjauhhi desa dan menuju hutan. Mbah Lolo berlari mengejar Timun Mas. Merasa terancam, Timun mengambil kantung bekalnya yang berisi garam dan melemparkan garam tersebut ke arah muka Mbah Lolo. Garam yang dilemparkan Timun mengaburkan pandangan Mbah Lolo. Mbah Lolo mengamuk dan semakin mengejar Timun yang telah memasuki hutan.
Di hutan, Timun kembali mengambil kantung bekalnya yang berisi jarum. Ia sebarkan jarum itu dan kemudian daun pepohonan di hutan berubah menjadi jarum-jarum tajam dan melukai tubuh Mbah Lolo. Meski begitu, Mbah Lolo tetap bisa lolos dan mengejar Timun Mas.
Langkah Timun Mas terhenti ketika melihat aliran sungai yang berada di depannya.
“Alirannya tenang! Aku tidak mungkin menyeberanginya! Sungai itu sangat dalam!“ Kata Timun cemas di dalam hatinya.
Langkah Mbah Lolo semakin mendekat dan Timun Mas sudah tidak bisa kemana-mana lagi. Mbah Lolo telah mengepung Timun Mas sekarang.
“Tidak ada pilihan lain!”
Timun Mas segera mengambil kantung bekal ketiganya yang berisi sebuah batu. Dengan keberanian Timun Mas menggenggam batu itu dan hendak melemparkannya ke arah Mbah Lolo. Sebelum akhirnya Mbah Lolo terjatuh karena luka-luka pada tubuhnya. Timun Mas segera mengurungkan niatnya dan menaruh kembali batu itu ke dalam kantungnya. Timun Mas yang merasa iba kemudian segera mengambil air dari sungai yang berada di dekat mereka dengan selembar daun lebar sebagai alas untuk menampung air tersebut. Lalu Timun Mas memberi minum Mbah Lolo dengan air itu dan membersihkan kotoran dan debu yang menempel pada luka-luka di tubuh Mbah Lolo.
“Maafkan aku.”  Kata Timun dengan nada yang menyesal. “Karena jarum yang aku  tebar, kau jadi terluka seperti ini.“
Tidak ada jawaban sedikitpun dari mulut Mbah Lolo.
“Kau marah, ya? Aku benar-benar minta maaf karena aku yang bersalah. Jangan kau datangi kakek dan nenek lalu memakan mereka. Biarkan mereka hidup.“
“Aku tidak akan memakan mereka.“ Suara Mbah Lolo terdengar lembut.
“Tapi bukankah kalian sudah membuat perjanjian?“
“Ya. Sebenarnya aku hanya ingin tahu bagaimana cara mereka mendidikmu yang bukan darah daging mereka. Ternyata mereka memperlakukan dan mengajarimu sesuatu yang baik dan benar. Kau tumbuh sebagai gadis yang memiliki kepedulian pada siapapun.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Dari caramu memperlakukanku. Sekarang pulanglah! Temui kakek dan nenekmu serta sampaikan salamku untuk mereka.”

Mbah Lolo tersenyum ramah. Kini taringnya tidak lagi menyembul keluar, rambutnya ia gulung ke atas dan matanya sedikit menyipit karena dorongan dari tulang pipinya sebagai reaksi dari senyum ramahnya itu. Langit berubah menjadi pagi. Matahari dan kokok ayam menandakan telah berakhirnya semua perjuangan Timun Mas.


-ann-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar