Semakin ingin kenal dunia, semakin
dunia membuka dirinya.
Keindahan yang menutupi keburukan, keburukan yang menutupi keindahan.
Yang benar mengatasnamakan dirinya benar karna ia anggap yang berbeda itu
salah.
Dan semua menyatakan dirinya benar.
Siapa yang salah? Siapa yang benar?
Apa itu indah? Apa itu buruk?
Kata dunia, “Jalani saja apa yang terjadi. Seperti air yang mengalir di dalam
diriku.
Seperti darah yang mengalir di dalam tubuhmu. Jalani saja.”
Kita pun menjalaninya.
Tak lama, dunia bercekikik kecil.
Dia bilang, “Bodoh benar kau ini. Air mengalir bertujuan meski pasrah.
Darah mengalir bertujuan meski tak bermuara. Dan kau? Aku tak berujung, tak ada
muara padaku. Kemana kau akan mengalir? Hah, betul-betul bodoh.”
Sial.
Akhirnya kita berjalan mencoba
mencari muara lain, tidak pada ujung dunia. Menyibak-nyibak lapisan
topeng yang tak kunjung habis.
Segala sisi saling bertentangan. Yang satu berdamai dengan yang satu, tapi
bertentang dengan yang lain. yang terlihat kemudian menjadi hitam dan putih.
Bingung.
Bolehkah sepanjang jalan, kita berdiri di atas batas abu-abu saja? Berjalan
diatasnya. Tak ingin hitam. Tak berpihak putih. Hanya ingin abu-abu karna kita
semakin bingung. Namun keduanya menarik sama kuat. Menggoyahkan langkah perlahan.
Segalanya berkutat dalam pikiran. Dimulai dengan tanda tanya, diakhiri
dengan tanda tanya pula. Bersusah payah mengubah tanda tanya menjadi
tanda titik. Tak kunjung bisa.
Ah! Penat!
Kali ini si dunia tertawa terbahak. Mengucapkan selamat datang yang lupa diucapkannya
sedari tadi. Kita telah masuk ke dalam permainannya ternyata.
Hah, Siapa bilang dunia semakin membuka dirinya?
Justru terasa ia semakin menutupi dirinya.
Jadi, siapa kenal
sebenarnya dunia?
Dibuat terbahak jugalah
kita.
Bersama-sama tertawa terbahak-bahak.
-an-