Kamis, 20 November 2014

di dalam kata ...

Di pantai yang berombak,
ia dihanyutkan menuju samudera luas
diterbangkan bersama angin pantai yang berhembus kencang
dibenamkan di dalam pasir putih
dan ditenggelamkan bersama perginya matahari senja

Sialnya,
di dalam samudera ia semakin dalam
dibawa angin ia semakin tinggi
dibenam pasir putih ia semakin hangat
dan dibawa matahari senja ia bertemu keheningan malam

semuanya untuk direnungkan:
bahwa nyatanya ia ingin singgah lebih lama di dalam kata yang disebut …


-ann-

Rabu, 23 Juli 2014

diundang

kami mengundang awan malam datang kemari untuk membawa setetes air hujan dan bersedia meneteskannya di atas tanah tempat kami berpijak sampai kami kembali hidup di pagi hari disambut aroma tanah basah sebagai hadiah dari hujan yang datang hadir semalam.


-ann-

Sabtu, 19 Juli 2014

waktu

Waktu pasti datang.


Masa? Aku sudah menunggunya sedari tadi.
Sampai bibirku tak bisa lagi diajak tersenyum.
Sampai tanganku harus menopang wajahku yang kian memberat malas.
Sampai kakiku bergetar-getar tak sabar.


Tenang saja. Waktu pasti datang.


Aku juga berharap seperti itu karna jawaban untukku dititipkan padanya.
Semoga saja ia tidak lupa kalau ia telah dijanjikan pasti datang untukku.




*** 


Hei, kenapa ia tak datang juga?
Berkendara dengan apa dia ke sini?
Lama sekali!
Oh! Atau ia keliru kepada siapa seharusnya ia datangi?
Atau jangan-jangan ia malah lupa sama sekali?!
Aduh! Gawatlah kalau benar itu terjadi!
Bisa cemas seumur hidup aku dibuatnya!
Aku tidak mau!


(bersiap-siap)



Hendak kemana bersiap-siap seperti itu?



Aku akan menjemputnya.


Siapa?


Waktu. 




-ann-

Sabtu, 05 Juli 2014

turun hujan


Karena hujan sering menjadi kambing hitam di siang hari, akhirnya ia putuskan untuk menunggu matahari menghilang terlebih dahulu. Ia pikir itu adalah waktu yang tepat baginya. Tak ada yang bisa melihat rupanya dengan jelas karena di saat itu ia berhasil bersembunyi dari cahaya bulan dan berlalu dengan cepat di hadapan cahaya lampu-lampu kota. Di keheningan itu, ia luapkan seluruh emosinya. Mereka yang mendengarnya akan jatuh tenggelam ikut berbahagia dan termenung sepanjang malam. Sepanjang malam. Selama itu hujan turun. Selama itu pula mereka termenung bahwa rupa bahagia hujan tak akan mereka lihat saat kebencian lebih menguasai diri mereka. Kunjungan hujan malam itu diakhiri dengan sebuah pesan untuk membiarkan dirinya turun esok hari sebelum matahari menghilang lagi.


-ann-

Kamis, 26 Juni 2014

angkat pena

“Ia angkat pena.”
‘Angkat pena?’
“Ya.”
‘Tidak ia gantung saja sekalian?’
“Tidak.”
‘Mungkin sebentar lagi. Sudah kau tanyakan?’
“Belum secara langsung, tetapi secara tidak langsung gerak-geriknya sudah berbicara padaku.”
‘Ah! Bagaimana? Bagaimana ia berbicara? Coba ceritakan padaku!’
“Ya... ia mengangkat pena miliknya.”
‘Lalu?’
“Lalu ia diam saja. Aku hampiri ia dan ku lihat tidak ada segores bahkan setetes tintapun di atas
 lembar kertasnya. Aku pikir ini sudah saatnya.”
‘Kalau memang sudah tidak ada setetespun tinta di atas kertasnya,
berarti ini sudah saatnya! Sudah kau cari penggantinnya?’
“Sudah. Sudah sejak lama aku menyiapkannya. Takut-takut kejadian seperti ini benar terjadi.” 
‘Di mana dia sekarang?’
“Sssttt... Dia sedang aku sembunyikan dengan baik. Jika sudah waktunya tiba, akan aku 
keluarkan dia dari tempat persembunyiannya.”
‘Bukankah waktunya telah tiba? Jadi untuk apa masih kau sembunyikan dia? Cepat keluarkan!’
“Nanti dulu! Aku masih menunggu.”
‘Menunggu apalagi?!’
“Aku menunggu ia mengatakannya langsung padaku. Siapa tahu aku salah membaca arti gerak-geriknya. Mungkin saja sebenarnya ia hanya kelelahan.”
‘Hei! Sudah jelas ia angkat pena dan tidak ada setetes tinta di atas kertasnya! Itu sudah pertanda!’
“Pertanda apa?”
‘Ia akan gantung pena. Kisah-kisah sudah habis ia 
ukir dan lembaran itu akan terus kosong karena sudah tidak ada lagi 
kata-kata yang mewakili isi pikiran atau perasaannya. 
Sudahlah! Memang ini sudah saatnya!’
“Entahlah. Aku tidak yakin sampai ia yang berbicara langsung padaku kalau ia benar-benar gantung pena.”
‘Kau ini keras kepala sekali. Pertanda itu sudah jelas! Percaya padaku!’
“Ah! Ia memanggilku. Tunggu sebentar.”









‘Bagaimana? Apa katanya?’
“Sudah.”
‘Sudah?’
“Ya. Katanya sudah saatnya aku mengeluarkan penggantinya.”
‘HAHAHAHA benar kan kataku! Itu sudah pertanda! 
Jadi kau akan mengeluarkannya sekarang?’
“Ya. Untuk menggantikan tinta pena miliknya yang telah habis.”



-ann-

Jumat, 13 Juni 2014

satu menit, 60 detik

tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok.


-ann-

Sabtu, 31 Mei 2014

bagaimana dengan

kalau yang di belakang tidak perlu lagi ditoleh dan yang di depan harus terus ditatap, bagaimana dengan yang berada di samping kanan dan kirimu?

-ann-

Minggu, 25 Mei 2014

dari atas kincir raksasa

dari atas kincir raksasa, berdua kita saksikan kota kita yang telah mengeriput tua.


-ann-

Sabtu, 17 Mei 2014

saat itu pula kau tahu

"saat dirimu tersungkur lemah, saat itu pula kau tahu bahwa hatimu sedang berusaha keras menopang tubuh dan jiwamu yang hampir runtuh itu."


-ann-

Sabtu, 10 Mei 2014

jika

pertanyaan:
             jika nona rembulan malam dianugerahi rasa,
             kepada siapa ia akan jatuh rasa?

             jika tuan terik siang dianugerahi rasa,
             kepada siapa akan ia pancarkan rasa?


jawaban:
            jika ya dan entahlah,
            jika ya dan entahlah


pertanyaan:
            dan jika ternyata hati nona rembulan malam
            telah jatuh rasa pada tuan terik siang
            yang tak pernah mendekat,
            akankah pancarnya...


jawaban:
            jika hening keduanya telah dipecahkan,
            tidak akan lagi menjadi entahlah.


-ann-

Minggu, 27 April 2014

bulan (senandung malam)

bulan, bulan
jawablah salam sapaku
apa kabar dirimu, jauh di atas langit?

bulan, bulan
tidakkah kau merindu
duduk mendekatku dan mendekapku?

kita rasakan kembali, bersama-sama.
hembusan angin malam yang menemani.
lalu kita akan berbincang
tentang bintang-bintang
yang bertebaran bagai lampu langit.

bulan, bulan
tidakkah kau merindu
duduk mendekatku dan mendekapku?

jika sekarang malam tiba,
semua telah pergi.
bintang-bintang bersembunyi,
angin berlalu pergi.
hanya setumpuk sunyi kini tersisa.
menemani diri yang terkepung sepi.

bulan, bulan
aku merindumu.
datanglah mendekatku dan peluklah aku.


-ann-

Minggu, 20 April 2014

masih bingung (?)

Panggung terbaik adalah kehidupan dan aktor terbaik adalah kita. Penulis naskah dan sutradaranya bukan saya ataupun kamu. Tenang, tetap ada kok yang mengatur jalan cerita, yaitu sang aktor itu sendiri. Hei, jangan bingung. Penulis naskah dan sutradaranya juga tetap ada kok, tapi bukan saya ataupun kamu. Loh, jangan mengernyit heran atau tidak setuju terlebih dahulu seperti itu. Kan tadi sudah dikatakan, bahwa kita aktornya bukan? Jadi kalau ada yang mau sebagai penulis naskah ataupun sutradaranya boleh saja. Tapi ingat, kita ini aktornya ya. Nah, sekarang bagaimana? Masih bingung? Panggungnya sudah siap dan Sang penulis naskah ingin menulis tuh.


-ann-

Senin, 31 Maret 2014

detak



           
                                                                                         
                                                                                         Tok
                                                                 Tik Tik
                                                                 Tok  Tok
                                                                                     Tik    Tik
                Tok                                                         Tok     Tok     Tok
                  Tik Tik                                                       Tik      Tik     Tik Tik
                 Tok  Tok                                                     Tok        Tok Tok  Tok
                Tik    Tik                                                     Tik             Tik      Tik
               Tok    Tok                                                    Tok                        Tok   
Tik         Tik     Tik                                                    Tik                          Tik     TikTokTik
   Tok    Tok      Tok                                    Tok        Tok                          Tok  Tok          Tok
     Tik Tik         Tik                                 Tik  Tik     Tik                            Tik Tik              Tik
       Tok             Tok                               Tok  Tok  Tok                               Tok                    Tok           Tok
                          Tik        TikTokTikTokTik      Tik Tik                                                             Tik          Tik
                          Tok      Tok                            Tok                                                                 Tok     Tok
                          Tik      Tik                                                                                                          Tik Tik
                          Tok    Tok                                                                                                            Tok    
                          Tik    Tik
                          Tok  Tok
                           TikTik
                             Tok




"Jika waktu berhenti, maka aku mati."



-ann-

Selasa, 25 Maret 2014

rantau

Rantau bukanlah kata yang asing lagi bagi orang seperti aku. Seorang pemuda berusia setengah abad yang hidupnya berpindah-pindah tempat singgah. Banyak alasan – yang kukatakan ‘mengharuskan‘ – aku untuk merantau ke kota orang. Mulai dari pendidikan hingga pekerjaan untuk memenuhi pundi-pundi kering yang merengek minta diisi bagai anak bayi minta disusui ibunya.
Orang berharap merantau akan membuatmu pulang dengan lembaran kertas warna-warni bernominal yang siap ditukarkan dengan kendaraan mewah beroda empat atau gubuk bertingkat berdinding bata. Kemudian berakhir hanya sebagai pajangan di kampung halaman karena harus di tinggal merantau kembali. Jadilah ajang pertanda ‘kesuksesan merantau‘. Tapi lebih penting dari itu semua, aku merantau karena ingin kaya akan pengalaman hidup. Hidup Cuma sekali saja toh? Jadi untuk apa terus meringkuk, memenjarakan diri di atas tanah kota kelahiran dengan rutinitas yang sudah dihafal luar kepala? Dunia ini luas, kawan! Janganlah kau persempit segalanya. Kelak, entah kapan, kita akan kembali berjalan pulang ke dalam pelukan ibu di tanah kota kelahiran kita. Sekarang kita terbanglah layaknya burung besi di atas sana!


***

Maret 1995
GOMPYANG!
PRANG!
BRAK!
Pertengkaran kala itu sungguh hebat. Sebagai anak yang beranjak remaja, egoku sedang berada dipuncaknya. Tidak mau terkalahkan oleh apapun dan siapapun, sekalipun itu bapakku sendiri.
Bapak adalah sosok yang pendiam. Mungkin ia penganut setia pribahasa ‘diam itu emas’ atau mungkin ribuan buku yang dibacanya selalu terselip kalimat ‘diamlah, Pak. Diam itu emas’. Lalu segala kata-kata yang bapak miliki tersedot dan terkunci rapat di dalam buku-buku itu. Ah,  mungkin imajinasiku terlalu berlebih.
Bapak jarang sekali berbicara, tetapi sekalinya ia berbicara seluruh semesta seakan mendukung isi pembicaraannya. Tak ada seorangpun anggota keluarga yang berani menentang bapak. Tidak kedua kakak perempuan dan laki-lakiku dan tidak pula ibu dan adik perempuanku. Terkecuali anak ketiga bapak yang berani, yaitu aku.
Aku tumbuh sebagai seorang pemuda pemberontak, begitulah kata ibu untuk menyadarkanku. Aku tidak peduli selama aku memberontak akan hal yang aku anggap benar untuk kehidupanku. Terlalu mementingkan diri sendiri? Ya, memang dan lagi-lagi aku tidak peduli. Sering aku menentang omongan bapak, menentang semesta yang mendukungnya, dan memancing bapak agar keluar dari bungkam emasnya.
Selama lima belas tahun hidup bersama bapak, jelas membuat bapak hafal kelakuanku yang satu itu dan bapak paham satu-satunya cara untuk melawanku adalah tetap bungkam dalam emasnya dan berbicara jika ia berkehendak dirinya harus bicara. Seumur hidup saya, saya selalu kalah hingga Maret 1995. Kami bertengkar karena kepala batu kami yang sama kerasnya.

“Saya tidak mau sekolah,  Pak!“

PRANG!

Bapak membanting piring yang sedang dipegangnya tepat di depan mataku.



Maret 1995
Rantau bukanlah kata asing bagi saya. Tidak mudah merantau ke kota orang, terutama bagi anak berusia lima belas tahun dan anak ini bersikeras untuk pergi merantau. Jika tidak diberi izin, dia menawarkan dua pilihan:

“Di sini tapi tidak sekolah atau pergi merantau tapi tetap sekolah?!“

PRANG!

Saya membanting piring yang saya pegang dengan penuh amarah. Seumur hidup, saya tidak pernah ditentang sebegitu kerasnya oleh anak ini. Sekarang dia mengancam dengan alasan pendidikan untuk menutupi kemalasannya! Dia tahu seberapa pentingnya pendidikan bagi saya dan baginya pendidikan bukanlah hal yang begitu penting.
Saya naik pitam. Anak ini benar-benar keras kepala dan yakin dengan ucapannya. Lihatlah caranya berdiri dan menatap! Seakan ingin menantang tanding. Napasnya berhembus tidak beraturan, tanda emosinya sedang berancang-ancang membludak.

BRAK!

Ia menutup pintu kamarnya sekuat tenaga, menggetarkan dinding-dinding kayu rumah yang merambat hingga lantai tempat kaki saya perpijak. Hari ini membuat saya sadar akan dua hal. Pertama, meski saya adalah bapaknya, tapi saya tidak pernah mengerti jalan pikirannya. Kedua, saya tidak tahu harus mengambil keputusan apa. Anak ini benar-benar telah memperlihatkan kepala batu miliknya yang sesungguhnya!

Saya diam.



Awal April 1995
Bapak tidak juga kunjung bicara. Kepalanya masih membatu dan mulutnya masih membisu. Aku tidak peduli. Kelulusan dari sekolah menengah pertamaku tinggal menghitung bulan. Ada ataupun tidak ada jawaban dari bapak, toh aku tetap menang.

Aku diam saja.



Awal April 1995
Saya masih diam.



Akhir April 1995
Kami berbicara dengan situasi kepala kami yang masih membatu. Untungnya, ibu hadir sebagai pernerjemah bahasa tubuh kami yang kikuk. Kata ibu, bapak mengizinkanku untuk merantau asal tetap sekolah. Sekolahnya sudah ditentukan oleh bapak. Sebuah sekolah negeri terkemuka di kota Yogya milik kerabat jauh bapak. Aku tidak tahu harus merasa menang atau justru aku malah kembali dikalahkan oleh bapak? Aku menang untuk tuntutan merantau, tapi sejujurnya aku kalah terhadap tuntutan utamaku untuk tidak sekolah.

Aku terima kenyataan bahwa aku benar akan merantau jauh dari tanah kelahiranku, Bukit Tinggi, dalam hitungan beberapa bulan lagi dan aku -masih mencoba untuk menerima kenyataan- akan tetap sekolah. Aku diam. Aku bingung. Aku harap kepala batu ini tidak membawakan kebodohan berikutnya.



(tugas mata kuliah penulisan populer. Cerita belum berakhir.)


-ann-

Timun Mas dan Mbah Lolo

(tugas mata kuliah penulisan populer. ini bukan cerita asli Timun Mas, hanya pengembangan dari cerita aslinya ya :))

Hari itu hujan turun dengan sangat derasnya. Membuat para pekerja terpaksa kembali ke sangkar peraduannya masing-masing. Begitu pula dengan sepasang pasangan tua yang segera menuju sangkar bambunya untuk melindungi diri mereka dari air hujan yang menghujam dan menghangatkan diri dengan secangkir teh dan pisang goreng hangat. Mereka tidak pernah mempermasalahkan keadaan mereka yang sederhana seperti itu. Bagi mereka, kebersamaan diantara mereka sudah mencukupi hingga mereka akhirnya menyadari akan ketidakberadaan sesuatu yang pernah mereka harapkan beberapa puluh tahun sebelumnya.
“Seandainya kita memiliki seorang anak ya, Kek. Mungkin rumah kita sekarang tidak sesepi ini dan mungkin ada yang sedang duduk bersama kita dan menawarkan untuk menuangkan teh ke dalam cangkir kita ini ya , Kek?” Kata nenek.
“Ya, seandainya saja kita memiliki seorang anak ya, Nek.”
Beberapa hari setelah harapan yang diucapkan oleh kakek dan  nenek, terdengar sebuah desas-desus yang menyebar di kalangan petani desa mengenai Mbah Lolo. Mbah Lolo adalah sesosok wanita tua bertubuh gendut besar dan ia memiliki kekuatan sakti.rambutnya putih panjang beruban dan biasanya digulung ke atas dan ditenggerkan di atas kepalanya. Matanya tajam, terutama ketika sedang membelalakan matanya sebagai tanda tidak setuju dengan perkataan banyak yang berseberangan dengan pendapat ‘Mbah Lolo’. Begitulah mitos tentang Mbah Lolo yang beredar dari satu generasi ke generasi berikutnya.
“Mbah Lolo menawarkan pada siapapun yang berniat merawat bayi itu sebelum bayi itu dimakannya dengan lahap!“ Kata bu Darni, seorang petani tua yang sedang bercerita dengan sangat antusias.
“Kenapa ia menawarkannya kepada kita? Kenapa ia tidak langsung saja memakan bayi itu!“
“Mungkin Mbah Lolo sedang baik hati. Makanya ia menawarkan nayi itu kepada kita. Atau memang nasib bayi itu yang sedang bagus.“
“Kalau begitu siapa yang ingin dan berani mengambil serta mengurus bayi  tersebut?“ Pertanyaan itu mengoyak hati kakek dan nenek untuk mengatakana bahwa mereka yang bersedia melakukannya. Merekapun pergi menuju rumah Mbah Lolo sore itu juga.
Sesampainya di depan rumah Mbah Lolo, kakek dan nenek saling menatap takut. Berbagai bayangan berkelebat di dalam pikiran mereka.
“Seperti apa rupa mbah Lolo? Seramkah? Bagaimana dengan rupa anak itu? Apakah dia perempuan atau laki-laki? Apakah anak itu masih hidup atau justru tinggal tulang beluangnya saja? Atau jangan-jangan semua ini adalah jebakan agar Mbah Lolo bisa memakan kami berdua?” Batin kakek dan nenek di dalam hati mereka masing-masing.
Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Baru saja  mereka membalik punggung mereka, tiba-tiba terdengar suara tangisan seorang bayi dari dalam rumah Mbah Lolo. Arah suara tangisan itu semakin lama semakin mendekati pintu di hadapan mereka. Perlahan pintu terlihat mulai terbuka. Cahaya lampu dari dalam rumah  berlomba keluar menerobos sela-sela pintu untuk menerangi baggian-bagian gelap yang bisa dijangkaunya. Pintupun terbelalak lebar. Didapatinya sesosok wanita gembul mengenakan kain lusuh yang melilit tubuhnya dan rambut putih yang tergulung di atas kepalanya persis seperti kabar buruung yang beresedar selama ini. Matanya membelalak kaget, melotot hingga bulat sempurna. Alis putih tebalnya saling bertemu. Mulutnya membungkam rapat, tetapi membentuk senyum sinis pada salah satu ujung bibirnya. Hidungnya kembang kempis pertanda udara masuk keluardengan kecepatan tak terkendali.
“APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!” Bentak Mbah Lolo.
“Ka..ka...kami ingin...mengasuh…bayi itu…”
“Bayi?! Oh! Jadi kalian yang ingin mengasuhnya?! Baiklah. Akan aku berikan bayi ini kepada kalian dengan tiga syarat!”
“Apa itu?“
“Pertama, kalian harus menyerahkan seluruh ketimun di ladang kalian padaku!“
“Baik.“
“Kedua, kalian tidak diperbolehkan menanam ketimun sampai kapanpun!“
“Baik.“
“Ketiga, kalian harus mengembalikan bayi ini padaku di hari ia berusia tepat tujuh belas tahun jika tidak, maka kalianlah yang akan menanggung akibatnya. Kalianlah yang akan menjadi santapanku!“
“Ba...baik, Mbah.“
“Kalau begitu ambilah bayi ini dan pergilah!“
Sesampainya di rumah, kakek dan nenek melihat ladang ketimun mereka telah kosong. Ketimun-ketimun yang telah mereka rawat, lenyap begitu saja. Ada  perasaan kecewa yang hinggap di dalam hati mereka, tetapi tangisan sang bayi  yang berada di dalam gendongan sang nenek dengan cepat mengobati rasa kecewa mereka.
Bayi itu berjenis kelamin perempuan. Kemudian dia tumbuh menjadi gadis yang cantik, pintar, ramahm dan memiliki rasa cinta terhadap siapapun terutama kepada kakek dan nenek. Nama gadis itu adalah Timun Mas. Tidak terasa, Timun Mas telah diasuh oleh kakek dan nenek selama enam belas tahun dan dua hari lagi adalah hari genap usia Timun Mas menjadi tujuh belas tahun. Perjanjian antara kakek-nenek dan Mbah Lolo terus diingat oleh keduanya. Kakek dan nenek merasa sangat sayang kepada Timun Mas dan tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa gadis itu. Tepat satu hari sebelum usia Timun  genap tujuh belas tahun, kakek dan nenek menceritakan semuanya kepada Timun Mas dan memberikan bekal tiga buah kantung kecil kepadanya.
“Tiap kantung ini berisi tiga benda ajaib yang berbeda-beda. Gunakanlah di saat kau benar-benar merasa terancam.“
“Lalu bagaimana dengan kalian?“
“Kami akan tetap di sini.“
“Tapi bagaimana jika dia memakan kalian?“
“Tidak apa, Timun. Lebih baik sekarang kau pergi sebelum Mbah Lolo datang!“
Timun Mas segera mengikatkan tiga kantung kecil itu dipinggangnya dan segera berlari kencang menjauhi rumah menuju rumah Mbah Lolo.
“Aku tidak akan membiarkannya pergi menemui kakek dan nenek lebih dulu!“ Kata Timun Mas di dalam hati.
Waktu menunujukan hampir pukul 00.00 dini hari. Tiba-tiba langit malam berubah menjadi jingga bercampur biru dan kelabu. Tidak terlihat satupun benda langit di sana dan yang terdengar hanya bunyi guntur yang bersahut-sahutan ditambah kilatan petir yang sesekali menyala terang di langit. Sejauh Timun Mas memandang sekitarnya, ia hanya melihat kegelapan dengan cahaya seadanya dari kilatan-kilatan petir. Timun Mas merasa takut, tetapi ia tidak memiliki pilihan lain kalau dirinya ingin kakek dan neneknya selamat.
“MBAH LOLO!!!“ Teriak Timun Mas menantang. Suara auman terdengar. Tepat pukul dua belas tengah malam, terddengar  suara dentuman langkah kaki menghampiri Timun Mas. Baru kali itu Timun Mas mendapati seorang wanita tua bertubuh besar dan gempal. Wajahnya sangat menyeramkan. Gigi taringnya menyembul keluar dan berwarna hitam. Matanya melotot tajam. Rambutnya tergerai panjang dan berantakan.
Timun segera berlari menggiring Mbah Lolo menjauhhi desa dan menuju hutan. Mbah Lolo berlari mengejar Timun Mas. Merasa terancam, Timun mengambil kantung bekalnya yang berisi garam dan melemparkan garam tersebut ke arah muka Mbah Lolo. Garam yang dilemparkan Timun mengaburkan pandangan Mbah Lolo. Mbah Lolo mengamuk dan semakin mengejar Timun yang telah memasuki hutan.
Di hutan, Timun kembali mengambil kantung bekalnya yang berisi jarum. Ia sebarkan jarum itu dan kemudian daun pepohonan di hutan berubah menjadi jarum-jarum tajam dan melukai tubuh Mbah Lolo. Meski begitu, Mbah Lolo tetap bisa lolos dan mengejar Timun Mas.
Langkah Timun Mas terhenti ketika melihat aliran sungai yang berada di depannya.
“Alirannya tenang! Aku tidak mungkin menyeberanginya! Sungai itu sangat dalam!“ Kata Timun cemas di dalam hatinya.
Langkah Mbah Lolo semakin mendekat dan Timun Mas sudah tidak bisa kemana-mana lagi. Mbah Lolo telah mengepung Timun Mas sekarang.
“Tidak ada pilihan lain!”
Timun Mas segera mengambil kantung bekal ketiganya yang berisi sebuah batu. Dengan keberanian Timun Mas menggenggam batu itu dan hendak melemparkannya ke arah Mbah Lolo. Sebelum akhirnya Mbah Lolo terjatuh karena luka-luka pada tubuhnya. Timun Mas segera mengurungkan niatnya dan menaruh kembali batu itu ke dalam kantungnya. Timun Mas yang merasa iba kemudian segera mengambil air dari sungai yang berada di dekat mereka dengan selembar daun lebar sebagai alas untuk menampung air tersebut. Lalu Timun Mas memberi minum Mbah Lolo dengan air itu dan membersihkan kotoran dan debu yang menempel pada luka-luka di tubuh Mbah Lolo.
“Maafkan aku.”  Kata Timun dengan nada yang menyesal. “Karena jarum yang aku  tebar, kau jadi terluka seperti ini.“
Tidak ada jawaban sedikitpun dari mulut Mbah Lolo.
“Kau marah, ya? Aku benar-benar minta maaf karena aku yang bersalah. Jangan kau datangi kakek dan nenek lalu memakan mereka. Biarkan mereka hidup.“
“Aku tidak akan memakan mereka.“ Suara Mbah Lolo terdengar lembut.
“Tapi bukankah kalian sudah membuat perjanjian?“
“Ya. Sebenarnya aku hanya ingin tahu bagaimana cara mereka mendidikmu yang bukan darah daging mereka. Ternyata mereka memperlakukan dan mengajarimu sesuatu yang baik dan benar. Kau tumbuh sebagai gadis yang memiliki kepedulian pada siapapun.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Dari caramu memperlakukanku. Sekarang pulanglah! Temui kakek dan nenekmu serta sampaikan salamku untuk mereka.”

Mbah Lolo tersenyum ramah. Kini taringnya tidak lagi menyembul keluar, rambutnya ia gulung ke atas dan matanya sedikit menyipit karena dorongan dari tulang pipinya sebagai reaksi dari senyum ramahnya itu. Langit berubah menjadi pagi. Matahari dan kokok ayam menandakan telah berakhirnya semua perjuangan Timun Mas.


-ann-