”Hai! Selamat pagi!”
Seperti biasanya,
kau menyambut pagi di hari Minggu dengan senyum lebarmu. Berjalan menuju balkon
atas tempatku biasa memulai pagi dengan berita-berita tentang ibu kota. Secangkir
teh manis hangat di tangan kirimu dan roti bakar keju-susu di tanganmu yang
satunya. Kau tahu betul sarapan pagi kesukaanku di hari Minggu. Lalu akan kau
letakan keduanya di atas meja kayu di sebelah kiri tempat aku duduk. Setelah itu
kau akan berjalan menuju sebuah kursi panjang yang bersandar pada pagar balkon.
Berlatar belakang pepohonan hijau dan bukit kecil yang samar terlihat tertutup
sedikit kabut. Kemudian kau duduk di atas kursi panjang itu, tepat di
seberangku, melihat ke arahku, menunggu
aku sadar lalu menurunkan koran pagi yang sedang ku baca dari depan wajahku. Aku
hafal betul kebiasaanmu itu.
Pada pagi di
hari Minggu biasanya, aku tidak akan menurunkan koran yang tengah ku baca dari
depan wajahku hingga aku merasa kau sudah menekuk wajahmu kesal.
“Sepertinya ibu
kota sedang mengalami hal serius ya? Setiap Minggu ya? Hingga kau terlalu fokus
dengan berita itu dan tak peduli dengan sekitarmu 'yang lebih dekat'.“ Sindirmu.
Dari balik
koran, aku menduga-duga tingkat kekesalanmu hari ini melalui nada bicaramu. Membayangkan
rupa wajahmu yang minta diperhatikan. Dasar imaji! Aku tak sanggup lagi menerka
wajah jelekmu itu hingga pundakku mulai bergetar diikuti suara tawa yang
semakin lama semakin membesar.
“Ya, setiap Minggu. Aku harap selalu ada berita tentang keadaan ibu kota di koran Minggu
pagi yang membuatku fokus.“ Balasku.
Aku mulai
menutup koran Minggu pagi dan menaruhnya di samping cangkir teh di meja sebelah
kiriku dan tangan kananku menggantinya dengan menggenggam secangkir teh
manis hangat yang mulai ku seruput perlahan sebelum kembali membuka obrolan
denganmu. “Sindiranmu selalu sama setiap pagi. Apa kau tak bosan?“
“Hah, kau ini! Sindiran
itu akan tetap sama sampai kau membuat aku tidak menyindirmu lagi.“
“Sayangnya aku
akan tetap membuatmu menyindir seperti itu di hari Minggu pagi.“ Kataku sambil
tersenyum menatap matamu dan biasanya dalam hitungan sepuluh detik saja kau
sudah memalingkan wajahmu seolah-olah sedang memandang pohon-pohon hijau di
luar sana, padahal kau tersipu malu karna terlihat ujung bibir dan tulang
pipimu sedikit lebih tinggi dari yang kuperhatikan sebelumnya. Kau mencoba menahan
senyum yang jelas-jelas telah gagal. Aku
kembali menyeruput teh manis yang kini sudah tak begitu hangat.
Sangat mudah
mengetahuimu dari matamu. Seberdusta apapun kau, matamu akan membocorkan
segalanya. Aku mengagumimu karna matamu. Matamu hidup. Dan ketika kau sedang
marah atau kesal, aku cukup meredamnya dengan menatap sepasang mata yang sedang
berkoar-koar itu. Seketika api dalam sepasang mata itupun mereda.
Lalu kau akan memaling wajahmu ke arahku dan menghujamku dengan berbagai cerita yang telah kau kumpulkan selama sepekan, lengkap dengan gerak gerik tubuhmu yang menghiasi cerita-ceritamu, menjerat perhatianku. Lalu kita tertawa bersama-sama, saling menimpali cerita satu sama lain. Tak terasa satu hari terlewati begitu saja dan kita selalu menunggu hari Minggu berikutnya untuk segera cepat datang.
Lalu kau akan memaling wajahmu ke arahku dan menghujamku dengan berbagai cerita yang telah kau kumpulkan selama sepekan, lengkap dengan gerak gerik tubuhmu yang menghiasi cerita-ceritamu, menjerat perhatianku. Lalu kita tertawa bersama-sama, saling menimpali cerita satu sama lain. Tak terasa satu hari terlewati begitu saja dan kita selalu menunggu hari Minggu berikutnya untuk segera cepat datang.
Dan hari Minggu
yang ditunggu datang. Hari ini suaramu tergiang sama seperti di hari-hari
Minggu sebelumnya dan aku tak juga menurunkan koran Minggu pagi dari depan wajahku. Kau
menyindirku dengan sindiran yang sama setiap Minggu pagi. Aku tak juga menurunkan koran dari depan wajahku.
Tak lagi menduga-duga seperti apa wajah kesalmu, tetapi sedang menerka-nerka di mana
kau berada sekarang setelah pertengkaran besar semalam. Kau pergi membawa
sepasang mata kehidupanku. Kembalilah. Aku ingin kau kembali.
Aku masih
menatap koran Minggu pagi, mencari-cari dengan teliti, berharap ada berita kau
telah kembali duduk di hadapanku, menatapku, menunggu ku menurunkan koran dari
hadapanku.
-an-
#FF2in1 nulisbuku.com/@nulisbuku
#FF2in1 nulisbuku.com/@nulisbuku