Kamis, 30 Agustus 2012

mas koki

Mas koki dalam sangkar air
Cuap cuap
Cuap cuap
Mulutnya monyong

Berlenggak lenggok dalam air tanpa dosa

Cantik...

Dengan cuap cuap monyong mulut
Seakan menarik napas kehidupan
Hoap hoap

-AN-

Kamis, 23 Agustus 2012

hujan

Sebuah permintaan sederhana
Aku ingin menari-nari bersama hujan
Di dalam kesejukan
Rintik nan memukau
Membasahi tubuh
Berbalut aroma air dan tanah

Hujan...hujan..hujan...
Biarkan aku menikmati hujan


-AN-


bumi dan langit

‘Seperti bumi dan langit yang tak pernah bersatu’
Ah, klasik!

Bumi ya bumi
Langit ya langit
Bumi sibuk, ya demikian juga si langit
Sama-sama sibuk

Hingga bumi berteriak-teriak  memanggil langit
“Langiiiiiiiit!”

Dan langit berteriak
“Bumiiiiiiii!

Sejujurnya mereka saling berteriak 
Teriakan yang tak didengar satu sama lain

Bumi tak terbang
Langitpun tak turun


-AN-

Selasa, 21 Agustus 2012

berpura-pura


Lewat kata aku bisa berpura-pura sesukaku
Berpura-pura senang
Berpura-pura sedih
Berpura-pura untuk berpura-pura

Kalau kata-kata itu benar bisa berbicara, mungkin mereka akan meronta-ronta
Menuntut kejujuran bukan hanya hasil imajinasi belaka

Tapi lewat kata aku mencoba berbicara
Berbicara tentang keinginanku yang terlukis dalam imajinasi
Senang
Sedih

Jadi, masih berpura-purakah saya?



-AN-

khayal


Terbangku dalam khayal menuju langit
Berkawanku dengan angin menjauhi bumi
Berharaplah aku kemudian agar khayalku tak pernah berakhir
Dan semakin menjauhi bumi

Aku ingin bebas!
Sendiri dan menjauh
Meninggalkanmu dan bumi
Dan kau serta bumipun tak mengapa aku pergi karna tiada rugi



-AN-

Senin, 20 Agustus 2012

layangan Bumi

Namanya Bumi dan usianya 9 tahun. Tak bisa bermain layang-layang bahkan untuk menerbangkannya ke langit saja ia masih payah. Sering layang-layangnya berakhir dengan mencium tanah dan kemudian robek akibat benturan macam-macam. Kalau sudah robek begitu, Bumi hanya bisa pasrah dan pergi meninggalkan lapangan dengan seutas senyum semringah. Ia tahu besok ia harus kembali ke tanah lapang itu dengan layang-layang sederhana seharga dua ribu rupiah yang baru. Baginya sebuah usaha itu penting dan menerbangkan layang-layang ke langit merupakan suatu hal yang membutuhkan usaha ekstra.

Begitulah kegiatannya selama musim layang-layang berlangsung. Menyisihkan dua ribu rupiah dari uang sakunya, membeli layang-layang di toko Ahong setelah pulang sekolah, kemudian pergi ke tanah lapang disorenya untuk kembali mencoba menerbangkan layang-layangnya ke langit.

“Walaupun pada akhirnya berakhir dengan mencium tanah, tapi semakin  hari aku merasa layang-layangku semakin tinggi di udara. Jadi jika aku mencoba menerbangkannya setiap hari, besar kemungkinan sebelum musim layang-layang berakhir, layang-layangku telah mencapai langit.”

Hampir dipenghujung musim layang-layang. Di tanah lapang, aktivitas sepak bola  sudah hampir mendominasi dari biasanya. Bumi tak peduli, untuk saat ini tidak ada yang lebih penting selain  layang-layangnya, angin, dan langit.

Akhir musimpun tiba dan layang-layangnya tak juga mencapai langit. Hanya berhasil naik beberapa milimeter saja di udara dan anak keras kepala itu tetap bersikukuh mau menerbangkan layang-layangnya hingga ke langit. Otaknya mulai bekerja, berpikir berpikir berpikir dan merenung.

Bumi mulai melangkahkan kakinya ke sisi kanan tanah lapang dengan belari. Kedua tangannya mendekap layangannya didada dan dipegangnya  kaleng susu bekas, tempat benangnya dililit bergumpal-gumpal menumpuk, ditangan kirinya.

Di sisi kanan tanah lapang, sambil mengambil ancang-ancang, Bumi mulai mengulurkan benang sedikit demi sedikit dan kemudian berlari dengan cepat. Secepat ia bisa. Dari satu sisi tanah lapang ke sisi seberangnya. Benang terulur sedikit demi sedikit. Yakin!

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa....” Teriak Bumi, sepanjang ia berlari.

Seperempat mencapai finish, Bumi membalikkan tubuhnya dan berlari mundur. Perlahan larinya memelan sampai akhirnya kedua kakinya terhenti sempurna.  Kini, layang-layangnyalah yang terlihat paling kecil di langit. Jauh.

“Apa kubilang! Sebelum musim berakhir!”


-AN-

Minggu, 19 Agustus 2012

begitukah aku?


Sesaat langkahku terhenti. Ia menjadi perhatianku sekarang. Orang itu. Sebetulnya tidak ada yang menarik dari dirinya tapi entah kenapa langkahku terhenti dibuatnya.

Aku memutar 90 derajat tubuhku ke kiri dan kini kami berhadapan. Sepertinya aku mengenalinya. Tubuh mungil, hitam, kurus, dekil, dengan pipi tirus dan rambut sebahu yang tidak lebih bagus dari rambut jagung, merah dan kering. Jika ada kontes ratu dekil, mungkin ia bisa menjadi pemenangnya karna sebersit tatap membaranya masih menyisakan sedikit kecantikan sebagai nilai tambah. Hanya sedikit.

Kalau diperhatikan, tak ada rasa ingin dikasihani sebagai kode darinya. Hanya saja batin ini tetap ingin mengasihaninya. Sudah dekil tak beralas kaki pula.

Layaknya patung, kami hanya berhadapan tanpa saling sapa. Apa kami  benar-benar  tidak saling mengenali hingga kami saling ragu untuk menyapa? Sebersit senyum mulai ditunjukannya bersamaan dengan senyumku. Dengan cepat senyum itupun merekah hingga gigi-giginya yang kecil terlihat jelas dan lesung pipitnya semakin mendalam. Bendera tanda kebanggaan diri seolah berkibar-kibar dari dirinya.

Mataku mulai tertuju pada sebuah karung disebelah kirinya, yang  berisi kumpulan gelas dan botol plastik. Matanyapun mengikuti arah mataku. Dari karung itu kusimpulkan kalau dia bau. Minimal bau matahari dan maksimal..... entah bagaimana aku mendeskripsikan perpaduan antara bau keringat, keringat dalam ketek, bau debu, asap, sampah,  dan bau-bau yang aku sendiri tak tahu asalnya.

Rasa kecewa mulai merekah menutupi kebanggaan diri tadi. Apa seperti itu orang melihat dan memandangku? Beropini tentangku?

Yah, mau gimana lagi?

Aku mulai meninggalkan cermin besar di etalase toko itu,  yang dipajang menghadap jalan  tempatku berdiri, dan pergi setengah berlari diiringi teriakan pekik sang pemilik toko.


-AN-

Sabtu, 18 Agustus 2012

Inspirasi


Tunggu, aku tetap menunggu
Menanti kehadirannya yang sangat berarti untukku, sekarang!
Aku membutuhkannya!

Sudah sering aku mengundangnya dan kunanti dengan sabar
Tapi tak juga dia datang memenuhi undanganku

Malah dia sering menemuiku di tempat dan waktu yang tak terduga
Tanpa janji terlebih dahulu
Kurang ajar!

Jika dia datang, pecah sudah konsentrasiku
Jika dia sudah berkata, lekaslah catat
Harus cepat!
Atau dia akan lenyap

Tahukan betapa sulit menemuinya jika dia sudah pergi?
Sayang, dia tidak memberi alamat atau nomer teleponnya
Agar aku mudah menghubunginya
Tidak menunggu-nunggu dan menanti-nanti seperti ini!
Dasar pelit!

Baiklah
Jika sudah selesai
ku persilahkan kau pergi, inspirasi
Dan kunjungi aku sesering kau bisa


-AN-

Jumat, 17 Agustus 2012

pertunjukan


Kini aku berdiri. Sendiri. Bermandikan kilatan cahaya yang kerap kali berganti-ganti. Terus menyorotiku kemana aku melangkah, kemana aku berbicara, seakan akulah satu-satunya si objek penderita. Hanya aku? Ya! Hanya aku yang kau soroti terus menerus. Terlihat bukti di depanku gelap gulita. Oh tidakkah kalian membutuhkan cahaya? Atau kalian senang dapat melihatku tanpa sembunyi-sembunyi seperti ini? Dan membiarkan mataku meraba-raba bentuk kalian hingga jelas?! Aku menyerah!

Dentuman-dentuman perlahan, menandakan suatu emosi. Aku mulai melangkahkan kaki masih ditemani sorot cahaya itu dengan warna yang kini berubah temaram secara perlahan.

Seolah-olah dentuman itu merengek minta didengar. Semakin lama dentuman itu semakin cepat dan keras membuat langkahku berlari-lari kecil dan sorot cahaya itu kini kembali berulah dengan kilatannya yang tidak lagi temaram. Berkilat-kilat dari berbagai arah dan warna. Klimaks!

Aku letih. Langkah berlari kecilku mulai surut dan aku terhenti untuk kemudian bertekuk lutut.

“Tidakkah kalian bisa berhenti?” Aku mulai bertanya.

Hening. Tak ada jawab sama sekali.

“Bisakah?!”  Tangisanku mulai berteriak memohon.

Seakan mengerti, sorot cahaya itu kembali normal. Jingga dan tidak lagi berkilat-kilat seperti tadi. Kini ia menyisakan kegelapan yang semakin dekat denganku, hanya berbatas selangkah antara aku dengannya. Dengan teramat jelas aku disudutkan olehnya! Tak ada ruang dan benar-benar hanya aku dan tempatku berpijak sekarang! Terserah!

Dentuman itupun latah memelan tetap mencekik perasaan.

Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Aku hanya diam terisak menanti sorotan yang akan menghujamku dengan kegelapan dan dentuman yang menyuarakanku dengan kesunyian.



Pertunjukanpun berakhir
terimakasih


-AN-

Kamis, 16 Agustus 2012

aku

Aku berkawan dengan aku
Aku akui dua sisi aku dan aku
Aku baik dan aku tidak baik
Aku buruk dan aku tidak buruk

Aku tak berkawan denganku
Kata aku, aku tak sama dengan aku
Jadilah aku dan aku masing-masing
Aku sebagai aku dan aku sebagai aku


-AN-

Minggu, 12 Agustus 2012

Persembahan


Ku persembahkan sebuah pementasan roman
Dengan aku dan kau sebagai pemeran utama
Dengan naskah pengucap kata cinta beribu kali
Aku mencintaimu                                                                
Kau juga mencintaiku

Dekap, dekap
Kami saling mendekap
Mendengar degup jantung yang sebenarnya tak terdengar
Aku mencintaimu
Kau juga mencintaiku

Kau genggam tanganku
Seolah mereka berkawan erat tak mau lepas
Kau menatapku
Aku menatapmu
Hingga tercipta sebuah isyarat
Aku mencintaimu
Kau juga mencintaiku

Ku persembahkan akhir pementasan
Bukan naskah yang mengakhiri
Tapi kau dan aku
Bukan si penulis yang berucap
Tapi kau dan aku
Aku tidak mencintaimu
Kau juga tidak lagi mencintaiku

Dan  berakhirlah pementasan itu
Karna pemeran itu sendiri


-AN-

angin dan debu


Aku bermimpi
Angin dan debu saling bercengkrama
Dan angin berkata:
‘aku menyayangimu, debu’


-AN-

Selembar Langit


Aku sedang menjahit selembar langit
Dengan jarum dan benang


Tak kunjung selesai


Aku letih
Keringatku jadi bukti


Dan hingga esok tiba
Langitku tak juga selesai


Aku tak pernah menyerah
Hingga aku terpaksa menyerahkan langitku padaMu



-AN-

Kata

Aku menulis
Kata perkata hingga menjadi sebuah karya
Tulisan-tullisan tak berharga
Hanya luapan emosi belaka

Aku menulis
Hingga tak ada kata

Aku tak peduli
Aku akan tetap menulis
Hingga kata berakhir sendiri



-AN-