Sesaat langkahku terhenti. Ia menjadi perhatianku sekarang. Orang itu. Sebetulnya
tidak ada yang menarik dari dirinya tapi entah kenapa langkahku terhenti
dibuatnya.
Aku memutar 90 derajat tubuhku ke kiri dan kini kami berhadapan. Sepertinya
aku mengenalinya. Tubuh mungil, hitam, kurus, dekil, dengan pipi tirus dan
rambut sebahu yang tidak lebih bagus dari rambut jagung, merah dan kering. Jika
ada kontes ratu dekil, mungkin ia bisa menjadi pemenangnya karna sebersit tatap
membaranya masih menyisakan sedikit kecantikan sebagai nilai tambah. Hanya sedikit.
Kalau diperhatikan, tak ada rasa ingin dikasihani sebagai kode darinya. Hanya
saja batin ini tetap ingin mengasihaninya. Sudah dekil tak beralas kaki pula.
Layaknya patung, kami hanya berhadapan tanpa saling sapa. Apa kami benar-benar
tidak saling mengenali hingga kami saling ragu untuk menyapa? Sebersit senyum
mulai ditunjukannya bersamaan dengan senyumku. Dengan cepat senyum itupun
merekah hingga gigi-giginya yang kecil terlihat jelas dan lesung pipitnya
semakin mendalam. Bendera tanda kebanggaan diri seolah berkibar-kibar dari
dirinya.
Mataku mulai tertuju pada sebuah karung disebelah kirinya, yang berisi kumpulan gelas dan botol plastik. Matanyapun
mengikuti arah mataku. Dari karung itu kusimpulkan kalau dia bau. Minimal bau matahari
dan maksimal..... entah bagaimana aku mendeskripsikan perpaduan antara bau keringat,
keringat dalam ketek, bau debu, asap, sampah,
dan bau-bau yang aku sendiri tak tahu asalnya.
Rasa kecewa mulai merekah menutupi kebanggaan diri tadi. Apa seperti itu
orang melihat dan memandangku? Beropini tentangku?
Yah, mau gimana lagi?
Aku mulai meninggalkan cermin besar di etalase toko itu, yang dipajang menghadap jalan tempatku berdiri, dan pergi setengah berlari
diiringi teriakan pekik sang pemilik toko.
-AN-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar