Senin, 20 Agustus 2012

layangan Bumi

Namanya Bumi dan usianya 9 tahun. Tak bisa bermain layang-layang bahkan untuk menerbangkannya ke langit saja ia masih payah. Sering layang-layangnya berakhir dengan mencium tanah dan kemudian robek akibat benturan macam-macam. Kalau sudah robek begitu, Bumi hanya bisa pasrah dan pergi meninggalkan lapangan dengan seutas senyum semringah. Ia tahu besok ia harus kembali ke tanah lapang itu dengan layang-layang sederhana seharga dua ribu rupiah yang baru. Baginya sebuah usaha itu penting dan menerbangkan layang-layang ke langit merupakan suatu hal yang membutuhkan usaha ekstra.

Begitulah kegiatannya selama musim layang-layang berlangsung. Menyisihkan dua ribu rupiah dari uang sakunya, membeli layang-layang di toko Ahong setelah pulang sekolah, kemudian pergi ke tanah lapang disorenya untuk kembali mencoba menerbangkan layang-layangnya ke langit.

“Walaupun pada akhirnya berakhir dengan mencium tanah, tapi semakin  hari aku merasa layang-layangku semakin tinggi di udara. Jadi jika aku mencoba menerbangkannya setiap hari, besar kemungkinan sebelum musim layang-layang berakhir, layang-layangku telah mencapai langit.”

Hampir dipenghujung musim layang-layang. Di tanah lapang, aktivitas sepak bola  sudah hampir mendominasi dari biasanya. Bumi tak peduli, untuk saat ini tidak ada yang lebih penting selain  layang-layangnya, angin, dan langit.

Akhir musimpun tiba dan layang-layangnya tak juga mencapai langit. Hanya berhasil naik beberapa milimeter saja di udara dan anak keras kepala itu tetap bersikukuh mau menerbangkan layang-layangnya hingga ke langit. Otaknya mulai bekerja, berpikir berpikir berpikir dan merenung.

Bumi mulai melangkahkan kakinya ke sisi kanan tanah lapang dengan belari. Kedua tangannya mendekap layangannya didada dan dipegangnya  kaleng susu bekas, tempat benangnya dililit bergumpal-gumpal menumpuk, ditangan kirinya.

Di sisi kanan tanah lapang, sambil mengambil ancang-ancang, Bumi mulai mengulurkan benang sedikit demi sedikit dan kemudian berlari dengan cepat. Secepat ia bisa. Dari satu sisi tanah lapang ke sisi seberangnya. Benang terulur sedikit demi sedikit. Yakin!

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa....” Teriak Bumi, sepanjang ia berlari.

Seperempat mencapai finish, Bumi membalikkan tubuhnya dan berlari mundur. Perlahan larinya memelan sampai akhirnya kedua kakinya terhenti sempurna.  Kini, layang-layangnyalah yang terlihat paling kecil di langit. Jauh.

“Apa kubilang! Sebelum musim berakhir!”


-AN-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar